Risiko Hukum Divestasi Freeport yang Patut Diwaspadai Inalum
Berita

Risiko Hukum Divestasi Freeport yang Patut Diwaspadai Inalum

​​​​​​​Mulai dari luas wilayah tambang yang tidak sesuai UU Minerba hingga kerusakan lingkungan dianggap terjadi dalam divestasi saham Freeport.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi usaha pertambangan. Foto: RES
Ilustrasi usaha pertambangan. Foto: RES

PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero resmi memiliki saham PT Freeport Indonesia (PTFI) sebesar 51 persen setelah melunasi pembayaran senilai AS$3,85 miliar pada Jumat (21/12). Pelunasan tersebut dibayarkan kepada Freeport McMoran Inc, induk usaha PTFI dan hak partisipasi Rio Tinto, perusahaan tambang asal Britania sehingga kepemilikan Inalum meningkat dari 9,36 persen menjadi 51,23 persen. 

 

Pelunasan ini menjadi awal baru divestasi saham PTFI setelah melalui proses negosiasi alot selama dua tahun terakhir. Setelah pelunasan tersebut, pemerintah menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi (IUPK-OP) sebagai payung hukum bagi PTFI untuk melanjutkan kegiatan operasinya. Izin tersebut sekaligus menggantikan Kontrak Karya (KK) yang akan habis pada 2021.

 

Sayangnya, divestasi PTFI ini dinilai rawan digugat karena terdapat berbagai dugaan pelanggaran hukum dalam prosesnya. Menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Yusri Usman, salah satu pelanggaran hukum yaitu ketentuan luas wilayah maksimal 25 ribu hektar. Sebab, luas wilayah pertambangan PTFI saat ini mencapai 125 ribu ha.

 

“Ini menjadi rawan untuk digugat kembali di Makamah Agung,” kata Yursi saat dikonfirmasi, Rabu (26/12).

 

Dia juga menilai hampir semua pemegang KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) juga telah melanggar UU Minerba karena tidak mengikuti ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam aturan tersebut.

 

Selain itu, Yusri juga menilai perdebatan panjang yang muncul dalam divestasi PTFI dianggap wajar. Meskipun Inalum telah membayar 40 persen Participating Interest Rio Tinto sebesar AS$3,5 miliar, diproyeksikan permasalahan hukum tetap bermunculan. Sebab, valuasi yang dijadikan dasar PT Inalum bisa menimbulkan masalah besar dengan adanya dugaan mark up.

 

Atas kondisi tersebut, Yusri menganggap potensi pelanggaran ini dapat menjadi pintu masuk penegak hukum agar tidak menimbulkan polemik publik. Terlebih lagi, nilai kontrak dalam proses divestasi ini berjumlah besar bagi kondisi keuangan negara saat ini.

Tags:

Berita Terkait