Catatan Hukum 2018 dan 8 Program Prioritas Pembenahan Hukum 2019
Berita

Catatan Hukum 2018 dan 8 Program Prioritas Pembenahan Hukum 2019

Pembenahan hukum sampai dengan saat ini belum menunjukkan perubahan yang sangat berarti dan menyentuh pada persoalan dasar dalam penegakan hukum.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) melihat sepanjang tahun 2018 pembenahan dan penegakan hukum di Indonesia masih berjalan lambat. Hal ini terlihat dari masih ada ancaman terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dialami internal pegawai KPK hingga ahli yang digugat terpidana korupsi karena memberi keterangan keahliannya terkait kasus korupsi. Tentu hal ini mengganggu independensi akademisi dan upaya pelemahan terhadap pemberantasan korupsi.

 

Di internal KPK sendiri, kata Direktur Riset dan Inovasi PSHK Rizky Argama, terlihat dengan adanya mutasi dan promosi yang diprotes oleh wadah pegawai KPK dan tidak adanya kemajuan dalam penanganan kasus Novel Baswedan. Kelambanan penanganan kasus ini menjadi kritik keras bagi Kepolisian dan Pesiden.

 

“Komnas HAM telah menyerahkan laporan pemeriksaan kasus Novel Baswedan dan merekomendasikan kepada pimpinan KPK untuk melakukan langkah hukum dan memberikan perlindungan bagi pegawai KPK,” kata pria yang disapa Gama dalam siaran persnya, Rabu (26/12).

 

Pembiaran terhadap lemahnya penegakan hukum yang dilakukan oleh Kepolisian juga tidak mendapat perhatian serius pemerintah. Kasus penghapusan barang bukti, yang dikenal dengan “buku merah”, menjadi salah satu indikasi permasalahan penegakan hukum. Tidak jauh berbeda dengan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang hingga hari ini tidak jelas pengungkapannya. Meski begitu, penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK sepanjang 2018, patut diacungi jempol. Selain penanganan kasus kakap, pada tahun yang sama KPK melakukan operasi tangkap tangan terbanyak yakni dengan 29 kasus.

 

Di wilayah peradilan, lanjut Gama, awal 2018 diwarnai dengan desakan mundur Arif Hidayat yang saat itu menjabat Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) karena diduga melakukan pelanggaran etik dengan bertemu pimpinan Komisi III DPR dalam rangka meminta dukungan dipilih kembali sebagai sebagai hakim MK. Kasus lainnya adalah persinggungan klasik antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial yang dipicu oleh pernyataan juru bicara Komisi Yudisial ketika menanggapi permasalahan terkait dengan iuran turnamen tenis di lingkungan pengadilan yang digelar oleh Persatuan Tenis Warga Peradilan (PTWP).

 

Di bidang legislasi, kinerja DPR maupun pemerintah tidak memiliki capaian yang signifikan. Permasalahannya bukan hanya jumlah capaian, namun konsistensi dengan perencanaan. Dari 50 RUU yang menjadi prioritas tahun 2018 hanya lima RUU yang dihasilkan. Pada 2019 yang merupakan periode akhir keanggotaan DPR 2014-2019, prioritas tahunan justru bertambah menjadi 55 RUU.

 

Lemahnya perencanaan legislasi ini juga muncul dalam program penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) untuk tahun 2018. Pada 2018, pemerintah merencanakan membentuk 43 PP. Nyatanya hanya 3 PP yang berhasil disusun. Sementara itu, terdapat 45 PP yang disusun di luar yang sudah direncanakan. Sedangkan terkait Perpres, pada 2018 pemerintah merencanakan membentuk 30 Perpres. Namun dari rencana tersebut hanya 3 Perpres yang berhasil dibentuk. Di saat yang bersamaan, pemerintah menyusun 124 Perpres di luar perencanaan.

Tags:

Berita Terkait