Sejumlah Kritik atas Perpres Reforma Agraria
Berita

Sejumlah Kritik atas Perpres Reforma Agraria

Karena Perpres Reforma Agraria sebenarnya tidak menyasar penghapusan ketimpangan struktural kepemilikan tanah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Lahan pertanian sebagai salah satu objek redistribusi tanah dalam reforma agraria. Foto: MYS
Lahan pertanian sebagai salah satu objek redistribusi tanah dalam reforma agraria. Foto: MYS

Presiden Joko Widodo telah mengelurkan Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Beleid yang diterbitkan 24 September 2018 itu antara lain untuk mengurangi ketimpangan dan penguasaan pemilikan tanah rangka menciptakan keadilan. Meski mendapat apresiasi banyak pihak, Perpres ini juga menuai kritik, salah satunya dari kalangan akademisi.

 

Dewan Penasihat Pusat Studi Agraria IPB, Satyawan Sunito, menilai Perpres Reforma Agraria tidak memuat ketentuan yang menuntaskan masalah ketimpangan pemilikan tanah. Sebab, pemerintah masih mengandalkan pengelolaan tanah skala besar kepada perusahaan atau korporasi. Padahal, pengelolaan itu bisa dilakukan dalam skala kecil dengan melibatkan petani.

 

“Cara itu tepat digunakan di Indonesia yang memiliki tenaga kerja produktif dalam jumlah yang besar,” ujar Satyawan dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (3/1/2019). Baca Juga: Pemanfaatan Tanah Reforma Agraria Dilaksanakan Melalui Sistem Klaster

 

Menurutnya, pengelolaan lahan yang dilakukan perusahaan dan korporasi tidak mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak dan masif (meluas). Di sektor perkebunan, mekanisme yang berlaku masih mengikuti cara kolonial, seperti masih mengandalkan relasi dengan kekuasaan dan menerapkan upah murah.

 

Untuk itu, Satyawan mengusulkan agar pengelolaan tanah itu dilakukan dalam skala kecil. Perusahaan dan korporasi bisa bergeser mengelola di sektor hilir. Meski demikian, pemerintah tingkat pusat sampai daerah harus mampu menyediakan fasilitas pendukung agar petani dapat mengelola lahannya dengan baik.

 

“Ketimpangan pemilikan tanah ini menyebabkan ekonomi terkonsentrasi. Reforma Agraria (Perpres,-red) yang dijalankan sekarang ini tidak akan menyelesaikan masalah ketimpangan karena memang tidak ditujukan untuk itu,” lanjutnya.

 

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengapresiasi terbitnya Perpres No.86 Tahun 2018. Hanya saja, dia mengkritik subjek reforma agraria yang diatur dalam Perpres itu terlalu luas. Misalnya, dari belasan subjek antara lain PNS paling tinggi golongan III/a, anggota Polri, TNI pangkat paling tinggi Inspektur Dua Polisi/Letnan Dua yang tidak memiliki tanah.

Tags:

Berita Terkait