Permasalahan kerusakan lingkungan akibat pertambangan PT Freeport Indonesia (PTFI), Jayapura terus menjadi perhatian publik seiring dengan proses divestasi saham kepada PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) Persero. Mulai dari isu besarnya nilai kerugian materi hingga sosial terus menjadi persoalan sampai saat ini.
Munculnya persoalan tersebut karena selama ini pemerintah dianggap tidak transparan mengenai hasil pemeriksaan kegiatan pertambangan PTFI. Menanggapi kondisi tersebut, Inspektur Jenderal KLHK, Ilyas Asaad menjelaskan pemerintah sebenarnya telah melakukan pemeriksaan khususnya mengenai kerusakan lingkungan dari kegiatan pertambangan PTFI.
Berdasarkan hasil pemeriksaan September lalu, KLHK menemukan sebanyak 48 pelanggaran lingkungan akibat pertambangan PTFI. Pelanggaran tersebut juga telah ditindaklanjuti dengan penetapan sanksi administratif kepada PTFI melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK 5559/MENLHK-PHLHK/PPSA/GKM.0/10/2017.
Ilyas menjelaskan sebagian besar pelanggaran tersebut berhubungan dengan limbah atau tailing pertambangan PTFI. “Kerusakan paling besar sehubungan dengan tailing (limbah),” kata Ilyas di Gedung KLHK, Rabu (9/1).
Berdasarkan pemeriksaan KLHK, 48 sanksi tersebut dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
|
Ilyas menjelaskan dari sejumlah sanksi tersebut sebanyak 42 kegiatan telah selesai dilaksanakan pihak PTFI. Sedangkan, sebanyak 6 sanksi lainnya belum dapat diselesaikan dengan dalih memerlukan waktu yang lama untuk penyelesaiannya serta adanya aspek keamanan.
“Sanksi yang belum dilaksanakan tersebut antara lain pengelolaan sedimen non tailing dari lower Wanagon serta area tambang dalam pemasangan alat pemantau kontinyu untuk mengukur debit harian pada titik pantau 57, pemenuhan baku mutu emisi cerobong dan pemenuhan baku mutu kualitas air estuaria, untuk selanjutnya diselesaikan melalui mekanisme roadmap (peta jalan),” jelas Ilyas.