Jelang Pemilu, Perizinan Lahan Hutan Rawan Diobral?
Berita

Jelang Pemilu, Perizinan Lahan Hutan Rawan Diobral?

Izin yang diberikan merupakan kompensasi atas dukungan kepada para peserta pemilu.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Jumpa pers
Jumpa pers "Transaksi Lahan Jelang Pemilu" di Walhi, Rabu (9/1). Foto: MJR

Kerawanan pemberian izin penggunaan lahan hutan kepada korporasi menjelang pemilihan umum (Pemilu) berisiko semakin marak terjadi. Korporasi tersebut merupakan pihak-pihak penyokong dana atau pihak sebagai tim sukses calon presiden atau sejumlah calon legislator. Pemberian izin ini dianggap sebagai kompensasi kepada para tim sukses tersebut atas dukungan yang diberikan saat pemilu.

 

Hal ini disampaikan Kepala Departemen Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Zenzi Suhadi, Rabu (9/1). Menurut Zenzi, transaksi perizinan lahan ini telah terjadi sejak lama hingga saat ini. Namun, kondisi saat ini justru jauh lebih rawan seiring dengan munculnya regulasi yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

 

“Penerbitan izin ini sejak zaman Soeharto sampai sekarang tidak ada bedanya. Tapi, sekarang jelang Pemilu 2019 masih ada praktik transaksi lahan,” jelasnya.

 

Zenzi menganggap kondisi ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menjaga kawasan hutan serta menyelesaikan ketimpangan penguasaaan lahan yang diterapkan dalam bentuk program Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Padahal, menurut Zenzi, kedua program tersebut termasuk dari Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dalam Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 3 Tahun 2016 mengenai Program Kebijakan Pemerataan Ekonomi.

 

Salah satu kebijakan yang dikritik Walhi yaitu mengenai pelepasan kawasan hutan seluas 9.964 hektar di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah pada November 2018. Pelepasan kawasan hutan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 517/MENLHK/Setjen/PLA.2/11/2018 tentang Pelepasan dan Penetapan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi untuk Perkebunan Kelapa Sawit atas nama PT Hardaya Inti Plantations di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.

 

Melalui SK tersebut, kawasan hutan akan digunakan untuk perkebunan kelapa sawit swasta. Dengan demikian, Zenzi menilai kebijakan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah bertentangan dengan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau lebih dikenal Moratorium Sawit yang diterbitkan pada 19 September 2018.

 

“Inpres ini secara tegas ditujukan kepada 8 kementerian dan lembaga serta pemda untuk menunda dan melakukan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit tanpa kecuali,” jelas Zenzi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait