Legitimasi Pemilu 2019 Terbebani Sejumlah Kasus
Berita

Legitimasi Pemilu 2019 Terbebani Sejumlah Kasus

Perbedaan paradigma penyelenggara dan pengawas pemilu membuat masyarakat bingung. Sejumlah pekerjaan rumah masih harus diselesaikan sebelum 19 April 2019.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi Catatan Awal Tahun 2019 Perludem. Foto: DAN
Suasana diskusi Catatan Awal Tahun 2019 Perludem. Foto: DAN

Terbilang hitungan bulan menjelang Pemilu Serentak 2019, legitimasi masih menjadi persoalan. Kepercayaan publik, yang menjadi dasar legitimasi, tercoreng oleh sejumlah kasus yang muncul ke permukaan. Penelii senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsudin Haris, menyebut kepercayaan publik sebagai fondasi penting penyelenggaraan pemilu. Dengan mendapatkan informasi yang benar, masyarakat bisa membedakan mana pemilu yang demokratis, dan mana yang sekadar pemilu saja. “Untuk itu, perlu mengupayakan Pemilu memiliki legitimasi,” ujarnya, di Jakarta, Kamis (10/1).

Syamsudin menyampaikan harapan itu ketika menjadi pembicara dalam diskusi Catatan Awal Tahun Perludem. Dalam diskusi itu memang terungkap sejumlah kekhawatiran dan harapan terhadap Pemilu Serentak 2019. Salah satu yang dikritik adalah putusan yang berbeda dan saling bertentangan antara Komisi Pemilihan Umum, Bawasan Pengawas Pemilu, dan pengadilan berkaitan dengan proses pencalonan Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Oesman Sapta Odang (OSO).

KPU mencoret nama OSO dari daftar calon DPD karena hingga batas akhir yang ditetapkan KPU, OSO tak bersedia mundur dari jabatan Ketua Umum Partai Hanura. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menyebutkan pengurus partai politik tidak bisa mencalonkan diri sebagai anggota DPD. OSO berjuang lewat pintu lain, Pengadilan Tata Usaha Negara. Berbekal kemenangan di pengadilan inilah OSO memperjuangkan nasibnya. Ia berhasil. Bawaslu memerintahkan KPU memasukkan nama OSO ke dalam daftar calon tetap (DCT) perseorangan DPD untuk Pemilu 2019. Jika nanti OSO terpilih, KPU wajib meminta yang bersangkutan untuk mengundurkan diri dari pengurus partai politik, paling lambat satu  hari menjelang penetapan calon terpilih di dalam Pemilu 2019.

Putusan itu dikritik Titi Anggraini. Direktur Eksekutif Perludem ini menilai putusan Bawaslu ‘meruntuhkan’ kepercayaan terhadap pemilu. “Putusan ini jujur saja, meski sempat dikhawatirkan akan muncul, tetapi kami sangat percaya Bawaslu akan jadi lembaga yang akan menjadi penegak keadilan pemilu, sesuai dengan jargon yang disuarakan selama ini. Namun ternyata semua itu runtuh,” ujarnya.

(Baca juga: Soal Putusan Oeman Sapta, Bawaslu Harus Kedepankan Konstitusionalitas Penyelenggaraan Pemilu).

Dalam penilaian Titi, selama ini Bawaslu mengambil posisi bersama konstitusi ketika menyikapi persoalan kepemiluan. Contohnya, posisi narapidana kasus korupsi dalam proses pencalonan. Dengan menggunakan paradigma konstitusi, Bawaslu menegaskan pentingnya menghargai hak asasi manusia, sekalipun yang bersangkutan pernah berstatus narapidana korupsi. Tetapi Titi tidak melihat paradigma konstitusi itu dipakai Bawaslu dalam kasus pencalonan pengurus parpol di DPD.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 30/PUUXVI/2018 eksplisit menyebutkan sejak Pemilu 2019 dan pemilu-pemilu setelahnya, pengurus partai politik tidak dibolehkan lagi menjadi calon anggota DPD. Menurut Titi, putusannya Bawaslu justru memberi norma baru, bahwa boleh saja seorang kandidat yang tidak mau mundur sebagai pengurus partai politik tetap menjadi calon anggota DPD, asalkan menyatakan mundur sebagai pengurus parpol ketika terpilih. Dan, KPU yang harus mengingatkan kandidat bersangkutan untuk mundur.  “Ini jelas sesuatu yang keliru. Putusan ini tidak ada alas hukumnya,” tegas Titi.

Tags:

Berita Terkait