ICLA Sampaikan Keberatan atas RUU Persaingan Usaha
Utama

ICLA Sampaikan Keberatan atas RUU Persaingan Usaha

Salah satunya adalah mengenai wewenang KPPU dalam menangani perkara persaingan usaha tidak sehat.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
Jumpa pers terkait Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Rabu (16/1), di Kantor Apindo. Foto: Apindo
Jumpa pers terkait Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Rabu (16/1), di Kantor Apindo. Foto: Apindo

Revisi UU No 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli), masih bergulir di DPR. Rencananya, UU ini akan disahkan pada tahun ini. Namun, niatan tersebut mendapat kritik karena isi RUU Anti Monopoli dinilai masih kurang tepat untuk diterapkan.

 

Salah satu kritik berasal dari Indonesian Competition Lawyers Assosiation (ICLA). Ketua Umum ICLA, Asep Ridwan, menyampaikan bahwa pemberlakukan UU Anti Monopoli ini nantinya tidak hanya berimbas kepada pelaku usaha semata, tetapi juga terhadap praktisi khususnya praktisi hukum yang selama ini banyak menangani perkara persaingan usaha baik di KPPU maupun di pengadilan.

 

“Kita punya concern yang sama terhadap RUU ini karena saya yakin ini bukan hanya pelaku usaha, tapi kami juga sebagai praktisi. Jika melihat isi draft RUU Anti Monopoli, secara umum tak banyak mengalami perubahan dari UU Anti Monopoli saat ini. Sedangkan kita sebagai asosiasi praktisi hukum di bidang persaingan usaha ingin agar RUU ini sesuai dengan sistem hukum dan mencerminkan due process of law,” kata Asep usai konferensi pers di Kantor Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Jakarta, Rabu (16/1).

 

Menurut Asep, pihaknya tidak berada pada posisi menolak revisi UU Anti Monopoli. Hanya saja, dari draft RUU Anti Monopoli terbaru masih banyak hal-hal yang dinilai kurang tepat. Ia mencontohkan, pada draft terakhir terdapat kewajiban membayar denda terlebih dahulu sebesar 10 persen apabila pelaku usaha terbukti melanggar UU Anti Monopoli dan ingin mengajukan keberatan. Konsep ini, lanjut Asep, dinilai keliru. Hal ini tidak ditemukan dalam perkara pidana maupun perdata.

 

“Mana ada dalam perkara pidana, perkara perdata seseorang harus membayar terlebih dahulu denda. Ini bukan kasus pajak dan bukan Wajib Pajak (WP), kalau di kasus pajak WP wajib bayar denda terlebih dahulu, karena pemerintah butuh. Sekarang ini apa urgensinya?” ungkapnya.

 

Selain menyoal denda, Asep juga mengkritisi posisi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam draft RUU Anti Monopoli. KPPU diberikan kewenangan sebagai pihak penuntut sekaligus pemutus, namun seharusnya putusan KPPU dipersilahkan untuk diuji secara menyeluruh. Sayangnya, draft RUU Antimonopoli tidak memberikan ruang dan kesempatan kepada pihak yang berperkara untuk menguji putusan KPPU secara menyeluruh.

 

Bahkan, waktu yang diberikan untuk mengajukan keberatan atas putusan KPPU adalah 45 hari, hanya ditambah 15 hari dari UU Anti Monopoli yang saat ini berlaku yakni 30 hari. Singkatnya waktu ini hanya membuat Pengadilan Negeri selaku pihak yang memiliki kewenangan untuk menguji putusan KPPU, hanya didasarkan pada berkas perkara dari KPPU.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait