Revolusi Industri 4.0 dan Perubahan Konsep Hubungan Industrial
Kolom

Revolusi Industri 4.0 dan Perubahan Konsep Hubungan Industrial

“There is nothing wrong with change, if it is in the right direction” (Sir Winston Churchill).

Bacaan 2 Menit
Sugeng Santoso PN. Foto: Istimewa
Sugeng Santoso PN. Foto: Istimewa

Revolusi Industri 4.0

Konsep revolusi industri 4.0 ini merupakan konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh Profesor Klaus Schwab. Ekonom asal Jerman sekaligus penggagas World Economic Forum (WEF) itu melalui bukunya, The Fourth Industrial Revolution, menyatakan bahwa revolusi industri 4.0 secara fundamental dapat mengubah cara hidup, bekerja, dan berhubungan satu dengan yang lain.

 

Revolusi industri yang selalu menjadi dasar adanya perubahan dalam sistem kerja termasuk sistem hubungan kerja sebagaimana konsep awal hubungan industrial adalah hubungan kerja, hubungan privat antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan. Revolusi industri 4.0 yang telah mulai berlangsung sejak tahun 2018 yang antara lain ditandai dengan perubahan-perubahan dalam cara hidup, bekerja, dan berhubungan antar manusia.

 

Fenomena perubahan pelaku proses produksi dari tenaga kerja ke mesin atau robot (otomatisasi). Perubahan hubungan kerja juga muncul berupa perkembangan sistem bisnis, misalnya, jual beli online, transportasi berbasis online (ojek online, dan taxi online) dan lain-lain yang sangat memudahkan masyarakat pada umumnya.

 

Kemudahan-kemudahan tersebut juga membawa akibat terancamnya posisi pekerja/buruh konvensional. Pekerja/buruh yang mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan tertentu saat ini mengutamakan konsep hubungan industrial yang akan berubah dengan adanya revolusi industri 4.0 tersebut.

 

Konsep Hubungan Industrial

Konsep awal hubungan industrial tersebut kemudian berkembang sejalan dengan adanya revolusi industri, di mana hubungan industrial yang didominasi dengan hubungan antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang bersifat privat di antara keduanya menimbulkan banyak permasalahan dalam proses produksi. Di antaranya terjadi dominasi pengusaha terhadap pekerja/ buruh yang bekerja padanya dalam proses produksi yang berakhir pada eksploitasi tenaga pekerja/buruh.

 

Konsep tersebut sebagai akibat penerapan politik laissez-faire (Scott Gordon, “The London Economist and the High Tide of Laissez Faire”, Journal of Political Economy, 1955). Pada negara, di mana negara tidak dapat melakukan intervensi dalam proses perdagangan, termasuk proses produksi, yang kemudian mengakibatkan rendahnya nilai upah, jam kerja yang berlebihan, semakin meningkatnya angka kemiskinan pada pekerja/ buruh dan tidak adanya penghargaan terhadap pekerja/ buruh (R. C. Sharma, Industrial Relations and Labour Legislation, 2016).

 

Keadaan tersebut kemudian menimbulkan protes dari pekerja/buruh yang berusaha membela kepentingan dan hak-haknya, sedangkan di sisi lain pengusaha tetap pada posisinya yang berusaha menjadi dominan dalam proses produksi. Skenario tersebut kemudian menimbulkan industrial war antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

Tags:

Berita Terkait