Korupsi Politik Bayangi Pembiayaan Politik Pemilu 2019
Berita

Korupsi Politik Bayangi Pembiayaan Politik Pemilu 2019

Perlu kesadaran bersama untuk mencegah pembiayaan illegal.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kampanye pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi kampanye pemilu. Ilustrator: BAS

Della Porta dan A. Vannucci menganalisis kondisi korupsi di Italia yang sangat sistemik di tahun 2002. Mereka lalu mengidentifikasi situasi Italia kala itu tengah mengalami  Partitocratia. Peneliti Fsipol UGM, Mada Sukmajati, mengartikan istilah Italia itu menjadi Partaikrasi. Mada kemudian meminjam Partaikrasi Porta dan Vannucci untuk menganalisis maraknya persoalan korupsi politik di Indonesia dan dampaknya terhadap pembiayaan politik menjelang, saat, dan paska Pemilihan Umum berlangsung.

Partaikrasi sendiri adalah situasi di mana dominasi partai politik yang sangat besar terjadi dalam pemerintahan, proses pengambilan kebijakan publik, bisnis, media massa, bahkan hingga ke kelompok masyarakat sipil. Partai politik dalam model ini, digerakkan oleh politisi profesional sehingga memerlukan pembiayaan yang sangat tinggi. Kondisi ini berakibat pada transformasi partai politik menjadi kartel yang melakukan kolusi untuk menjadi bagian dari negara agar dapat mengakses sumber daya negara. Pada tahap selanjutnya, partai politik menjalankan praktik-praktik korupsi politik secara luas.

Beberapa kasus korupsi yang terungkap di Pengadilan Tipikor memperlihatkan bagaimana pengurus partai politik melakukan beragam cara untuk memperoleh dana dari sumber-sumber tertentu secara melawan hukum untuk membiayai kegiatan partai politik.

(Baca juga: Celah Hukum Ini Kerap Digunakan untuk Akali Dana Kampanye).

Dalam diskusi di Jakarta, Selasa (28/1), Mada menggambarkan siklus partaikrasi di Indonesia kedalam tiga aktivitas: pembiayaan politik; pembiayaan kampanye; dan korupsi politik. Tidak sulit mencari contoh kasus korupsi politik ditanah air dalam rangka memenuhi kebutuhan partai politik untuk pembiayaan politik dan pembiayaan kampanye menjelang Pemilu berlangsung. Seperti diketahui publik belum lama ini, ada dugaan sejumlah uang hasil korupsi PLTU Riau–1 yang diduga hendak digunakan pada Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar. “Ini menjadi contoh sempurna dari pembiayaan politik menggunakan uang hasil korupsi,” ujarnya.

Contoh lain bisa dilihat pada kasus korupsi proyek Hambalang, korupsi KTP Elektronik, korupsi berjamaah di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD) Sumatera Utara, korupsi berjamaah di DPRD Kota Malang, dan sejumlah korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah, merupakan bentuk-bentuk korupsi politik yang pernah terjadi.

Belum lama, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merilis buku yang berujudul Pemibayaan Pemilu di Indonesia. Berdasarkan analisis dalam buku ini, sumber pembiayaan pemilu semakin bergantung pada para calon secara individual seperti tercermin dalam pembiayaan di pemilihan anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah. Sebaliknya, peran partai politik dalam pembiayaan kampanye, baik sebai peserta pemilu dalam konteks pileg maupun sebagi pengusung dalam pilkada dan pilpres, ternyata semakin menurun.

Jumlah dan variasi sumbangan dari pihak ketiga dalam konteks pilpres dan pilkada semakin beragam. Dari sumbangan pihak ketiga dalam penyelenggaraan pilpres dan pilkada, ada  fenomena sumber pendanaan gelap yang kemudian dapat berpotensi mendorong praktek-praktek korupsi politik.

Tags:

Berita Terkait