10 Catatan Kritis Terhadap Kebijakan Wajib Pungut PPN
Berita

10 Catatan Kritis Terhadap Kebijakan Wajib Pungut PPN

Penerapan kebijakan WAPU PPN dinilai terlalu luas, tanpa memperhatikan karakteristik usaha.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 2 Menit
10 Catatan Kritis Terhadap Kebijakan Wajib Pungut PPN
Hukumonline

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak konsumsi yang tetap menjadi primadona penerimaan negara. Bahkan di negara maju yang tergabung di OECD, PPN semakin berperan penting. Hal ini terlihat dari kontribusi penerimaan PPN yang meningkat dari 12% di tahun 1965 menjadi 20% di tahun 2015.

 

Di Indonesia, penerimaan PPN juga cukup dominan. Pada periode 2005-2011, rata-rata kontribusi PPN terhadap total penerimaan pajak mencapai 35,8%. Rata-rata ini bahkan meningkat secara signifikan pada tahun 2012 hingga 2018, yakni mencapai 40,5%. Di tahun 2018, penerimaan PPN mencapai Rp538,2 triliun atau 41% dari total penerimaan pajak, dan dalam APBN 2019 dipatok sebesar Rp655,4 T atau 41,5% porsinya dari total penerimaan pajak Rp1.577,5 T.

 

Di tengah fenomena penurunan tarif PPh Badan di berbagai negara, PPN akan tetap menjadi tumpuan penerimaan negara, terlebih tumbuhnya ekonomi digital yang mempersulit ruang gerak pemerintah mengenakan Pajak Penghasilan (PPh). Pilihan pada PPN bukan tanpa alasan. Meski sifatnya cenderung regresif, tetapi karakteristik PPN yang bersifat netral sehingga tidak mendistorsi perekonomian, menjadikan PPN pilihan yang tepat. Ketergantungan Indonesia terhadap PPN menuntut desain kebijakan yang agar lebih selaras dengan prinsip-prinsip pemajakan yang lebih fair, sederhana, murah, dan berkeadilan.

 

Namun meski demikian, beberapa hal harus diperhatikan oleh pemerintah guna memperbaiki kebijakan dan regulasi PPN di Indonesia untuk menciptakan keadilan, iklim investasi yang baik, dan menjadi insentif bagi pelaku usaha sehingga memiliki daya tahan dan daya saing.

 

Begitulah pandangan dari Pengamat Perpajakan, Yustinus Prastowo terkait kebijakan PPN, dalam press rilis yang diterima oleh hukumonline, Rabu (30/1). Menurutnya, satu hal yang penting dicermati adalah kebijakan Wajib Pungut (WAPU) PPN. Kebijakan ini mempunyai maksud baik yaitu mengamankan penerimaan negara melalui peran Pengusaha kena Pajak (PKP) sebagai WAPU pada saat membeli barang/memanfaatkan jasa kena pajak.

 

"Namun dalam praktiknya, kebijakan WAPU yang terlalu luas dan tidak memperhatikan karakteristik usaha berpotensi merugikan cashflow perusahaan dan kontraproduktif terhadap operasional bisnis, sehingga perlu ditinjau dan disempurnakan,” kata Yustinus.

 

Beberapa sektor yang terdampak terhadap kebijakan WAPU PPN ini antara lain BUMN dan entitas anaknya, serta para rekanan (vendor obat-obatan & alat kesehatan) rumah sakit pemerintah dalam rangka penyelenggaraan jaminan kesehatan. Terhadap hal tersebut, Yustinus menyampaikan beberapa poin catatan untuk perbaikan kebijakan ke depannya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait