Mau Mem-PHK? Cermati Dua Putusan MK Ini
Utama

Mau Mem-PHK? Cermati Dua Putusan MK Ini

Tidak ada putusan MK yang menghambat pemberi kerja (perusahaan) untuk melakukan PHK. Terpenting, pengusaha harus bisa membuktikan alasan PHK.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Praktisi Hubungan Industrial Juanda Pangaribuan saat memberi materi dalam Pelatihan Hukumonline 2019 dengan tema 'Tata Cara Melakukan PHK dan Penyelesaian Perselisihan PHK (Angkatan VIII)' di Jakarta, Rabu (30/1). Foto: RES
Praktisi Hubungan Industrial Juanda Pangaribuan saat memberi materi dalam Pelatihan Hukumonline 2019 dengan tema 'Tata Cara Melakukan PHK dan Penyelesaian Perselisihan PHK (Angkatan VIII)' di Jakarta, Rabu (30/1). Foto: RES

Undang-Undang (UU) No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, salah satu UU yang terbanyak diuji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan catatan Hukumonline, sudah 33 kali UU Ketenagakerjaan diuji materi dan menempati urutan ke-7 diantara 10 UU terbanyak diuji sepanjang MK berdiri. Tentunya, putusan MK terkait beberapa pengujian UU Ketenagakerjaan mengubah norma yang berlaku, terutama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK).

 

Praktisi Hukum Hubungan Industrial, Juanda Pangaribuan mencatat sedikitnya ada 2 putusan MK mengenai pengujian UU Ketenagakerjaan yang menyinggung norma PHK. Pertama, putusan MK No.012/PUU-I/2003, salah satu amarnya menyatakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat. Norma Pasal 158 UU Ketenagakerjaan, intinya membuka peluang pemberi kerja melakukan PHK dengan alasan buruh melakukan kesalahan berat.

 

Dalam pertimbangannya, MK menilai kesalahan berat yang dimaksud ketentuan itu tanpa due process of law melalui putusan pengadilan. Namun, hanya melalui keputusan (sepihak) pengusaha yang didukung oleh bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara (pidana) yang berlaku.

 

Sebab, MK melihat Pasal 160 UU Ketenagakerjaan mengatur berbeda, bahwa buruh yang ditahan pihak berwajib karena diduga melakukan pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Hingga bulan keenam buruh yang bersangkutan masih memperoleh sebagian haknya. Bila pengadilan menyatakan buruh tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali.

 

Juanda berpendapat putusan MK itu bisa diartikan pengusaha tidak bisa serta merta (otomatis) melakukan PHK terhadap buruh sebelum ada putusan pengadilan pidana. Meski demikian, mantan hakim ad hoc pengadilan hubungan industrial (PHI) Jakarta itu melihat dalam praktiknya tidak sedikit buruh yang di-PHK karena diduga melakukan pidana (belum diputus bersalah oleh pengadilan).  

 

Namun, jika perkara PHK ini berlabuh ke PHI, yang akan diuji dalam persidangan bukan soal perbuatan yang telah dilakukan apakah tergolong pidana atau bukan, melainkan prasyarat yang ada dalam hubungan kerja. Bagi Juanda, salah satu prasyarat dalam hubungan kerja adalah kedua pihak tidak boleh melakukan pelanggaran.

 

Misalnya, buruh melakukan tindakan yang dikategorikan pelanggaran berat sebagaimana disebutkan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Untuk melakukan PHK, pengusaha tidak perlu menunggu terlebih dulu keluarnya putusan pidananya. Persoalannya, apakah kesalahan berat yang dilakukan pekerja itu dibenarkan atau tidak dalam konteks hubungan kerja?  

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait