Dua Pasal KUHP Ini Dipakai Membidik Komisioner KPU
Berita

Dua Pasal KUHP Ini Dipakai Membidik Komisioner KPU

Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi bukanlah tindak pidana.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Perwakilan organisasi masyarakat sipil memberikan dukungan kepada KPU dalam polemik pencalonan OSO sebagai calon angota DPD. Foto: RES
Perwakilan organisasi masyarakat sipil memberikan dukungan kepada KPU dalam polemik pencalonan OSO sebagai calon angota DPD. Foto: RES

Polemik pencoretan nama Oesman Sapta Odang dari Daftar Calon Tetap Dewan Perwakilan Daerah dapat mengganggu kinerja komisioner KPU, bahkan berpotensi mengganggu tahapan pemilu. Setidaknya, begitulah kekhawatiran sejumlah organisasi masyarakat sipil yang memberikan dukungan kepada KPU, Rabu (30/1) kemarin. Kekhawatiran itu muncul setelah Oesman Sapta Odang (OSO) melaporkan komisioner KPU bukan saja ke Polda Metro Jaya, tetapi juga ke Bawaslu.

Penyelidik Polda Metro Jaya telah memeriksa Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman. Komisioner lain juga menyusul diperiksa berkaitan dengan laporan OSO. Para komisioner KPU dibidik dua pasal dalam KUHP, yakni Pasal 421 juncto Pasal 216 ayat (1).

Pasal 421 KUHP mengatur bahwa seorang pejabat yang menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Lalu, Pasal 216 ayat (1) menyebutkan barangsiapa yang dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugas mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda maksimal 9 ribu rupiah (sebelum disesuaikan).

PengajarSekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti berpendapat pilihan KPU melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 30/PUU-VII/2018 dalam menyikapi persoalan pencalonan Oesman Sapta bukanlah tindak pidana. “Putusan MK itu setara dengan Undang-Undang ya dan Undang-Undang itu (menegaskan) Undang-Undang Dasar,” ujar Bivitri kepada hukumonline, Rabu (30/1).

Meski begitu Bivitri  tetap menghormati proses yang saat ini tengah berlangsung di Polda Metro Jaya dan Bawaslu. Penerapan unsur-unsur Pasal 421 KUHP yang dikenakan kepada para Komisioner KPU akan ditentukan oleh penyelidikan pihak kepolisian. Pada prinsipnya,  Bivitri menilai tindakan KPU melaksanakan desain konstitusional penyelenggaraan pemilu DPD dengan tidak memasukkan OSO bukanlah tindak pidana. Putusan Mahkamah Konstitusi sudah menyatakan calon anggota DPD tidak boleh berasal dari pengurus partai politik. Sementara OSO masih tercatat sebagai Ketua Umum Partai Hanura.

(Baca juga: KPU Minta Penjelasan Berlakunya Putusan Larangan Pengurus Parpol Jadi Anggota DPD).

Bivitri juga berpendapat unsur menyalahgunakan kekuasaan yang disebut Pasal 421 KUHP karena KPU memiliki kewenangan yang dijamin Undang-Undang untuk menyelenggarakan tahapan-tahapan pemilu. Menurut dia, konstitusionalitas pemilu jauh lebih penting dari lebih tinggi substansinya disbanding mengikuti persoalan administrasi penyelenggaraan pemilu.

Ia berpendapat bahwa dalam kontruksi hukum pidana, penyalahgunaan kekusaan pejabat negara kerap diimplementasikan terhadap jenis tindak pidana korupsi seperti kasus memperdagangkan pengaruh dalam konsturksi tindak pidana korupsi. Selain itu, ada pula penyalahgunaan kekuasaan dalam konstruksi hukum administrasi negara. Jika penerapan penyalahgunaan kekuasaan dengan menggunakan kontruksi hukum administrasi negara, patut diperhatikan apakah tindakan KPU yang tidak memasukkan OSO ke dalam DCT pemilu DPD termasuk dalam penyelahgunaan kekuasaan untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan kepentingan umum? Menurut Bivitri, hal ini tidak relevan karena tindakan KPU berlandaskan pada tafsiran MK.

Tags:

Berita Terkait