Pencabutan Hak Politik Calon Pejabat Publik di Momentum Pemilu
Utama

Pencabutan Hak Politik Calon Pejabat Publik di Momentum Pemilu

​​​​​​​Penuntut umum kerap mengajukan dalil untuk melindungi kepentingan publik untuk memperoleh pejabat publik yang bersih.

Oleh:
Moh Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Isu pencalonan kembali sejumlah mantan terpidana kasus korupsi dalam Pemilu Serentak 2019 menjadi ‘amunisi’ yang dipakai pasangan calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dalam Debat Capres-Cawapres tahap pertama. Gerindra, partai pengusung capres Prabowo Subianto, ditengarai masih mencalonkan sejumlah eks terpidana sebagai kandidat anggota DPR/DPRD.

 

Memang, Gerindra bukan satu-satunya partai yang masih mengusung kandidat mantan terpidana korupsi. Berdasarkan catatan ICW, masih ada 46 caleg eks napi korupsi; berasal dari beberapa partai lain. Isu ini bergulir bukan hanya saat Debat Capres, tetapi jauh sebelumnya. Jauh sebelum itu, sudah ada polemik tajam antara mereka yang menginginkan agar eks napi korupsi tak dicalonkan menjadi anggota DPR/DPRD demi pemilu yang bersih, dengan mereka yang berlindung di bawah hak asasi manusia. Apalagi sebagian yang dicalonkan itu sudah melalui masa hukuman, dan sebagian tidak sedang dicabut hak pilihnya.

 

Pencabutan hak untuk dipilih menduduki jabatan publik sudah lazim dijatuhkan hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Pencabutan hak untuk dipilih ini lazim disebut hak pilih pasif, sebagai ‘lawan’ dari hak pilih aktif (hak untuk memilih). Pencabutan hak politik itu bukan sesuatu yang haram atau bertentangan dengan hukum. “Bisa dicabut,” kata dosen hukum tata negara Universitas Andalas Padang, Charles Simabura.

 

UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juga membenarkan. Pada prinsipnya setiap warga negara yang berusia 17 tahun ke atas berhak untuk memilih. Tetapi Pasal 198 ayat (3) menegaskan Warga Negara Indonesia yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih.

 

Pencabutan hak politik pelaku kejahatan dianggap sebagai salah satu sarana untuk memperkuat jalannya demkrasi dengan cara menghadirkan politisi bersih. Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan hukuman pencabutan hak politik dapat berdampak bukan hanya kepada pribadi politisi, tetapi juga pada upaya perbaikan sistem rekrutmen politik. “Jadi pelajaran bagi partai politik untuk memilih calon,” ujarnya.

 

Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota yang berupaya ‘memangkas’ hak mantan terpidana. Ada tiga kategori terpidana yang sulit mencalonkan diri, yaitu kasus korupsi, Bandar narkotika, dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Peraturan KPU itu memantik ‘perselisihan’ ketika Badan Pengawas Pemilu  memutuskan menerima keberatan sejumlah orang atas regulasi KPU itu. Politisi yang dirugikan oleh Peraturan KPU juga melakukan upaya hukum hak uji materiil ke Mahkamah Agung. Dan, berhasil!

 

Ini berarti mencabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik mendapat perlawanan secara hukum. Ketika kebijakan itu diberlakukan kepada Djoko Susilo, terdakwa kasus korupsi, daftar yang dicabut hak dipilih terus bertambah. Namun, prosesnya tak semudah membalik telapak tangan. Mencabut hak politik seseorang tak sekadar masalah penegakan hukum.

Tags:

Berita Terkait