Empat Kritik LBH atas Rencana Peradilan Cepat Kasus Narkotika
Berita

Empat Kritik LBH atas Rencana Peradilan Cepat Kasus Narkotika

Karena berpotensi menghambat hak terdakwa untuk membela diri dan mendapat proses peradilan yang adil (fair trial).

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pengguna narkotika. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pengguna narkotika. Ilustrator: BAS

Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membuka peluang proses pemeriksaan perkara cepat. Biasanya, perkara yang bisa diperiksa secara cepat berupa tindak pidana ringan (tipiring). LBH Jakarta dan LBH Bandung mencatat belum lama ini Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandung berencana menerapkan sistem peradilan cepat untuk kasus-kasus penyalahgunaan narkotika.

 

Menanggapi itu, Direktur LBH Bandung, Willy Hanafi melihat melalui rencana itu Kejari Bandung akan memangkas durasi waktu persidangan dari dakwaan sampai putusan dalam waktu kurang dari 14 hari. Dari informasi yang diperolehnya, Willy mengatakan Kejaksaan Agung justru mendukung rencana tersebut. Sebaliknya, LBH Bandung dan LBH Jakarta mengkritik rencana ini.

 

“Ide ini bermasalah karena dapat mengakibatkan pelanggaran hukum dan HAM,” kata Willy Hanafi dalam keterangannya belum lama ini di Jakarta. Baca Juga: Perpres JKN Dinilai Diskriminatif terhadap Pengguna Narkotika

 

Willy mencatat sedikitnya ada 4 persoalan jika rencana ini digulirkan. Pertama, melanggar Pasal 205 KUHAP. Ketentuan ini mengatur proses pemeriksaan cepat untuk perkara pidana dengan ancaman penjara atau kurungan paling lama 3 bulan dan/atau denda paling banyak Rp7.500 (tindak pidana ringan/tipiring) dan perkara penghinaan ringan.

 

Sementara UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika memuat ancaman pidana paling lama 4 tahun untuk penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri; 2 tahun untuk narkotika golongan II; dan 1 tahun untuk narkotika golongan III. “Mengacu penjelasan tersebut jelas kasus narkotika bukan jenis tindak pidana ringan yang dapat diproses dengan pemeriksaan perkara cepat,” kata dia.

 

Kedua, menghambat hak terdakwa untuk membela diri dan mendapat proses peradilan yang adil (fair trial). Willy menegaskan terdakwa berhak untuk membela diri dengan menghadirkan alat bukti untuk meringankan tuntutan, misalnya mendapatkan rehabilitasi atau bebas. Praktiknya, terdakwa kasus narkotika kerap tidak mendapat akses bantuan hokum, sehingga tidak bisa membela diri.

 

Selain itu, untuk menghadirkan bukti yang mendukung pembelaan terdakwa kasus narkotika butuh waktu yang cukup. Misalnya, surat uji laboratorium dengan hasil pemeriksaan positif menggunakan narkotika atas permintaan penyidik dan surat keterangan dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk hakim. Dalam proses persidangan biasa, tak jarang terdakwa kesulitan menghadirkan bukti itu. “Peradilan cepat dikhawatirkan makin menyulitkan terdakwa untuk menghadirkan alat bukti.”

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait