4 Catatan Koalisi untuk Seleksi Calon Hakim Mahkamah Konstitusi
Berita

4 Catatan Koalisi untuk Seleksi Calon Hakim Mahkamah Konstitusi

Pergantian terjadi di tahun politik.

Oleh:
RED/MYS
Bacaan 2 Menit
Sejumlah warga berkumpul di depan Gedung MK Jakarta. Foto: RES
Sejumlah warga berkumpul di depan Gedung MK Jakarta. Foto: RES

DPR akan menyelenggarakan seleksi wawancara terhadap para kandidat hakim konstitusi pada 6-7 Februari ini. Hingga kini ada 11 kandidat yang ‘memperebutkan’ dua kursi sehubungan dengan berakhirnya masa tugas hakim Mahkamah Konstitusi, Aswanto dan Wahiduddin Adams. Aswanto dan Wahiduddin masih ikut dalam proses seleksi karena mereka masih punya kesempatan memperpanjang satu kali masa jabatan.

Kandidat lain yang mengikuti seleksi adalah mantan anggota Komnas HAM Hestu Armuwulan Socmawardiah, komisioner Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari, Bahrul Ilmi Yakub, M. Galang Asmara, Refly Harun, Ichsan Anwary, Azkari Razak, Umbu Rauta, dan Sugianto.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Selamatkan MK, koalisi sejumlah organisasi masyarakat sipil, menyampaikan 4 hal yang perlu dipehatikan DPR ketika melakukan seleksi. Pertama, DPR perlu memastikan bahwa kandidat yang akan dipilih memiliki pemahaman terhadap isu hak asasi manusia dan kepemiluan berdasarkan tren pengujian undang-undang dan konteks kebutuhan Mahkamah Konstitusi saat ini. Kedua, DPR perlu meminta masukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap ketaatan calon dalam melaporkan kekayaannya dan kewajaran transaksi keuangan calon. Ketiga, Koalisi meminta DPR untuk memperpanjang waktu masukan publik terhadap masing-masing calon berdasarkan asas kelayakan dan kepatutan. Keempat, Koalisi berharap DPR mencoret kandidat yang hanya berorientasi kepada jabatan, bukan kepada upaya untuk mengabdi dan memberikan kontribusi yang positif terhadap perbaikan konstitusi.

Koalisi juga memberi catatan khusus tentang proses seleksi yang berlangsung pada tahun politik. Dalam konteks ini, DPR perlu memperhatikan jejak rekam dan independensi kandidat. “Meskipun DPR adalah lembaga politik, seharusnya dalam melakukan seleksi, DPR harus menjauhkan pertimbangan politik sebagai variabel utama dalam menentukan pilihan hakim konstitusi yang terpilih,” demikian pernyataan Koalisi yang diterima hukumonline.

(Baca juga: 2018, MK Hanya Kabulkan 15 Pengujian UU).

DPR juga perlu mempertimbangkan tren pengujian UU di Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan data per 2018, produk DPR dan Pemerintah yang paling banyak diuji adalah Undang-Undang yang berkaitan dengan politik. Pengujian UU Pemilu dilakukan sebanyak 28 kali, UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) sebanyak 12 kali, UU Ketenagakerjaan 7 kali, KUHAP 4 kali dan selebihnya 2 atau sekali saja.

Masalah lain yang perlu diperhatikan adalah kepatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang berarti kepatuhan terhadap konstitusi. Meskipun MK sudah memutuskan sejumlah regulasi melanggar konstitusi, namun dalam prakteknya ada permasalahan soal penerapannya. Misalnya, masih dimasukannya pengaturan penghinaan dalam RKUHP dan sejumlah putusan MK yang tidak ditaati oleh MA. Pada titik ini, DPR perlu mencari jalan keluar konstitusional untuk memastikan konstitusionalitas sejumlah kebuntuan konstitusi tersebut.

Selain itu, ada persoalan hak asasi manusia. Ada tren penurunan perlindungan hak asasi manusia. Data itu dapat dilihat dari data Indeks Negara Hukum Indonesian Legal Roundtable pada tahun 2012-2017, yang menunjukkan ada persoalan penurunan perlindungan hak asasi manusia (dari 5,71 pada tahun 2012 menuju 4,31 pada tahun 2017). Meskipun ada tren peningkatan dari tahun 2016 sampai dengan 2017, tetap saja secara umum nilai hak asasi manusia mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2012.

Koalisi juga menyoroti dua hal dalam proses seleksi MK: (1) soal jangka waktu: (2) komposisi panel ahli. Persoalan jangka waktu juga merupakan salah satu persoalan yang mempengaruhi kuantitas dan kualitas hakim konstitusi yang terpilih. Dalam sejarah seleksi MK yang dilakukan secara terbuka dari ketiga lembaga negara pengusul (DPR, Presiden, dan MA), baru kali ini jangka waktu seleksi dilakukan dengan sangat pendek, yakni lima hari kerja. Minimnya waktu yang dibuka oleh DPR membuat akses untuk mendapatkan calon yang berkualitas menjadi tertutup,  karena tidak sedikit orang baik dan berkompeten tidak dapat menyiapkan berkas yang dibutuhkan dengan waktu yang sangat singkat.

Hingga kini publik belum mendapat informasi dan gambaran tentang siapa saja panel ahli yang diminta oleh DPR. Koalisi mengapresiasi DPR yang menggunakan panel ahli sebagai salah satu preseden ketatanegaraan yang positif, namun tanpa mengetahui siapa dan apa kategori panel ahli yang ditunjuk membuat proses seleksi berpotensi melanggar prinsip transparansi dan partisipasi sebagaimana yang dimaksud UU Mahkamah Konstitusi, sebagai persyaratan utama dilakukannya seleksi hakim.

Padahal DPR juga punya “jejak rekam” yang buruk dalam mencari hakim konstitusi. Lolosnya Akil Mochtar sebagai hakim konstitusi disebabkan karena buruknya mekanisme proses seleksi di DPR (tidak ada mekanisme seleksi yang transparan dan partisipatif). Demikian juga ada hakim MK yang berkali-kali mendapatkan sanksi etik, namun masa jabatannya diperpanjang tanpa ada proses seleksi yang memadai sebagaimana yang dimaksud UU MK.

Tags:

Berita Terkait