Hujan Kritik, Muatan Hukum RUU Permusikan Akan Diubah
Publik khususnya musisi menyuarakan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan yang saat ini disiapkan Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR RI). Sejumlah ketentuan aturan tersebut dianggap membatasi kreativitas sekaligus mengekang kebebasan ekspresi para musisi. Terlebih lagi, rancangan aturan tersebut juga memuat sanksi pidana yang dikhawatirkan dapat mengkriminalisasi para pelaku industri musik.
Atas kondisi tersebut, Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR, Inosentius Samsul menjelaskan pihaknya sedang menyiapkan rancangan aturan terbaru sebagai respons penolakan publik tersebut. Salah satu perubahan mengenai pasal pelarangan proses kreasi yang tercantum dalam Pasal 5 RUU Permusikan.
“Posisi RUU ini sudah menjadi prioritas 2019, sikap kami paling ekstrem yaitu menyiapkan lagi naskah revisi UU. Perubahan itu misalnya soal larangan-larangan (proses kreasi),” jelas Inosentius kepada hukumonline di Depok, Sabtu (9/2).
Meski demikian, Inosentius menyatakan perubahan tersebut tidak langsung menghilangkan aturan pelarangan proses kreasi ini. Pelarangan tersebut hanya dikhususkan bagi distributor musik. Sehingga, dia menilai tidak terjadi pembatasan langsung kebebasan berekspresi para musisi.
“Jadi kami mengatur distributornya sehingga itu (karya musik) tidak bisa diedarkan artinya tidak dibatasi secara langsung,” jelas Inosentius.
Selain pasal pelarangan, ketentuan sanksi pidana juga mendapat penolakan dalam RUU ini. Hal ini dianggap sebagai ancaman terhadap pemusik. Sehingga, Inosentius menjelaskan ketentuan sanksi tersebut akan dihapus dalam revisi aturan terbaru.
“Soal sanksi pidana umum ini tidak harus ada di setiap UU. Ini bisa dikembalikan ke UU organiknya seperti UU tentang hak cipta, kebudayan bahkan KUHP,” tambahnya.
Permasalahan lainnya dalam RUU Permusikan ini mengenai ketentuan sertifikasi pemusik. Meski bertujuan meningkatkan kompetensi para musisi, ketentuan ini justru dianggap membatasi seseorang menjadi musisi. Sehingga, Inosentius menyatakan pihaknya akan mengkaji lagi ketentuan sertifikasi ini.
“Mengenai sertifikasi, saya harus katakan praktik itu sudah ada. Dan, sebagian besar RUU ini merupakan hasil konferensi musisi Indonesia di Ambon. Sertifikasi ini untuk mengembangkan karir orang bungan pembatasan orang ingin menjadi pemusik,” jelas Inosentius.
(Baca: Kalangan Musisi Minta ‘Ancaman Pidana’ dalam RUU Permusikan Direvisi)
Selain perubahan, terdapat aturan yang masih tetap dipertahankan dalam naskah terbaru RUU Pemusikan. Salah satunya, kewajiban menghadirkan musisi domestik pada setiap pertunjukan musik dari artis internasional yang menggelar konsernya di Indonesia. Kemudian, hotel-hotel juga wajib memutar musik nasional dalam kegiatan operasinya.
Selanjutnya, Inosentius menjelaskan pihaknya akan mengundang pihak musisi dan pakar musik untuk membahas rancangan aturan terbaru. Rencananya, pertemuan tersebut berlangsung pada 11-13 Februari dan dilanjutkan dengan diskusi publik pada 26 Februari. “Saya juga diberi masukan untuk melibatkan musisi underground,” jelasnya.
Sebelumnya, penggagas Konferensi Musik Indonesia (Kami), Glenn Fredly menilai kehadiran RUU Permusikan seperti ini justru mengancam para musisi ketika berkreativitas dalam bermusik. Padahal, bermusik itu menuangkan rasa dan ide dalam bentuk lirik dan irama secara bebas. Seharusnya kreativitas bagi musisi tak dapat dibatasi dengan aturan yang justru mengekang imajinasinya.
“Sejumlah pasal dalam naskah RUU Permusikan pun berpotensi membelenggu musisi dalam berkarya,” ujar Glenn dalam keterangannya seperti yang telah dimuat hukumonline, Selasa (29/1).
(Baca Juga: RUU Permusikan Dinilai Potensi Belenggu Kreativitas Musisi)
Dia mengungkapkan rancangan aturan ini berisiko disalahgunakan pihak-pihak yang berkepentingan termasuk penguasa untuk membungkam kebebasan berekspresi sang musisi. “Karenanya, pasal itu (pasal 5) perlu dilakukan perbaikan yang isinya tidak mengancam pidana bagi para pelaku musik berkreasi,” katanya.
Peneliti Koalisi Seni Indonesia (KSI) Hafez Gumay menilai adanya Pasal 5 RUU Permusikan menjadi ancaman bagi para musisi yang penerapannya rentan disalahgunakan. Baginya, keberadaan Pasal 5 RUU Permusikan warning keras bagi para musisi ketika membuat karya musik agar tidak menerobos batas-batas yang digariskan ketika UU ini berlaku nantinya.
Menurutnya, pengaturan ancaman pidana bentuk pengekangan sang musisi berinovasi. “Ancaman pidana itu bentuk pengekangan terhadap musisi, seperti ada ‘tembok besar’ ketika membuat karya musik. Dampaknya, para musisi bisa ‘terpangkas’ imajinasinya. Padahal, tanpa imajinasi yang bebas tidak akan ada musik yang menggugah jiwa,” katanya.
Vokalis Band Efek Rumah Kaca (ERK), Cholil Mahmud, menilai selain persoalan pengaturan ancaman pidana bagi musisi, ada persoalan sertifikasi terhadap para pelaku musik. Dia mempertanyakan pengaturan adanya keharusan sertifikasi terhadap para pelaku musik yang diatur sebanyak empat pasal, Pasal 32-35 RUU Permusikan.
Menurut Cholil, pengaturan keharusan adanya sertifikasi bagi para pelaku musik berpotensi menimbulkan kelas-kelas elit dalam industri musik di Indonesia. Hal ini justru bertentangan dengan cita-cita membuat musik yang bersifat inklusif dan dinikmati banyak orang.
Pembentukan elite di kalangan musisi ini seolah ada hierarki dalam musik, ada yang jadi pemusik, ada yang jadi pendengar. Padahal kalau musik menjadi napas orang banyak, pemusik bisa jadi pendengar dan pendengar bisa jadi pemusik,” pungkasnya.
- Peraturan Presiden Nomor 101 Tahun 2018
- Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Nomor . .
- Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi Nomor . .
- Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2018
- Surat Edaran Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2018
Apabila Anda menggunakan Private Browsing dalam Firefox, "Tracking Protection" akan muncul pemberitahuan Adblock. Anda dapat menonaktifkan dengan klik “shield icon” pada address bar Anda.
Terima kasih atas dukungan Anda untuk membantu kami menjadikan hukum untuk semua