Dissenting Opinion Hakim Banding dan Wacana Memperberat Ancaman Hukuman Pemberi Suap
Berita

Dissenting Opinion Hakim Banding dan Wacana Memperberat Ancaman Hukuman Pemberi Suap

Dissenting opinion hakim ad hoc meminta penyuap Eni Saragih dihukum 10 tahun.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Johannes Budisutrisno Kotjo dan pengacaranya di Pengadilan Tipikor. Foto: RES
Johannes Budisutrisno Kotjo dan pengacaranya di Pengadilan Tipikor. Foto: RES

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman bagi Johanes Budisutrisno Kotjo, pemilik saham Blackgold yang memberi suap kepada Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih. Kotjo dihukum selama 4 tahun enam bulan penjara, dan denda Rp250 juta. Vonis banding ini lebih berat daripada putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menghukumnya selama 2 tahun 8 bulan penjara denda Rp150 juta.

Majelis hakim banding yang memutus hukuman lebih berat itu terdiri dari Daniel Dalle Pairunan sebagai ketua dan I Nyoman Adi Juliasa, Achmad Yusak, Hening Tyastanto dan Rusydi. Majelis hakim mempertimbangkan sejumlah hal. Perbuatan Kotjo menyuap Eni Maulani Saragih telah menciderai rasa keadilan masyarakat. Suap dari Kotjo juga telah merugikan masyarakat karena akibat dari perbuatan itu, proyek PLTU Riau-I jadi terhenti.

Majelis juga berpandangan bahwa suap yang diberikan Kotjo kepada Eni dilakukan secara sistematis, mulai dari perencanaan, penganggaran, sampai pada pelaksanaan dengan melibatkan orang-orang yang memiliki posisi penting. Selain itu, pertimbangan agar hukuman ini memberi efek jera kepada Kotjo selaku terdakwa maupun masyarakat luas agar tidak korupsi di kemudian hari.

Putusan majelis diambil tidak dengan suara bulat. Hakim anggota, Hening Tyastanto, mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Hakim ad hoc Tipikor ini justru berpendapat terdakwa Kotjo layak dihukum selama 10 tahun. “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Johanes Budisutrisno Kotjo selama 10 tahun pidana dan denda Rp150 juta,” kata hakim Hening dalam putusan tertanggal 31 Januari 2019 itu.

(Baca juga: Divonis 2 Tahun 8 Bulan Bui, Johannes Kotjo Terima Putusan).

Dalam pertimbangannya Hening menyinggung bahwa Pasal 5 ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor mengatur hukuman maksimal maksimal 5 tahun penjara. Hakim terikat pada peraturan perundang-undangan ini ketika menangani dan memutus perkara. Namun jika undang-undang tersebut disusun tanpa memperhatikan semangat pemberantasan korupsi, bahkan sebaliknya memberikan hukuman ringan kepada para penyuap yang demi keuntungannya secara aktif mempengaruhi penyelenggara negara, yang terjadi adalah korupsi.

“Undang-undang tersebut kalau diterapkan bukannya akan mengurangi atau menghentikan korupsi namun sebaliknya malah menjadikan kondisi yang akan mendukung kelahiran makelar proyek atau panyuap baru seharusnya karena sumber dari korupsi adalah para penyuap ancaman hukumannya harus lebih berat dari ancaman hukuman kopada penerima suap,” ujarnya.

Hakim Hening juga berpendapat bahwa Kotjo dianggap memiliki peran yang amat dominan, mendapat keuntungan yang sangat besar, serta perbuatannya berdampak cukup besar terhadap masyarakat. Tidak hanya itu, hakim Hening juga berpendapat Kotjo melakukan korupsi kelas kakap, yang dimulai dari perencanaan anggaran, penunjukan pemenang pekerjaan, dan pengaturan syarat-syarat pengerjaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait