Aktivitas Impor Pangan Rawan Terjadi Korupsi, Apa Strategi Calon Presiden?
Jelang Debat Capres:

Aktivitas Impor Pangan Rawan Terjadi Korupsi, Apa Strategi Calon Presiden?

Laporan BPS menyebutkan bahwa telah terjadi penyusutan terhadap luas lahan baku sawah.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Aktivitas Impor Pangan Rawan Terjadi Korupsi, Apa Strategi Calon Presiden?
Hukumonline

Menjelang debat tahap kedua yang akan mempertemukan kedua pasangan Calon Presiden, nampak belum banyak perhatian diberikan kepada isu terkait pangan. Meski pada debat pertama, isu ini sempat beberapa kali disebut oleh salah satu pasangan calon, namun untuk debat tahap II isu pangan sepertinya tertupi oleh riuhnya pembahasan sebagian kalangan terkait energi dan Sumber Daya Alam. Patut diingat, isu kedaulatan pangan serta kebijakan ekonomi terbuka yang diterapkan oleh pemerintah meninggalkan lubang penyelewengan melalui aktivitas impor.

 

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti, dalam kertas posisi yang diberikan kepada Hukumonline, menjelaskan praktek impor pangan seringkali dimanfaatkan oleh kelompok elit tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Padahal ini dapat mengakibatkan timbulnya tindak pidana korupsi dalam aktivitas impor pangan yang melibatkan pejabat publik. Potensi korupsi terbuka saat pejabat bekerja sama dengan sekelompok pengusaha yang diuntungkan dari bisnis ini.

 

Contoh konkritnya adalah persoalan korupsi impor sapi yang melibatkan pimpinan partai politik tingkat nasional dan sejumlah nama pengusaha. Selain itu menurut catatan IGJ, bahkan potensi korupsi di sektor pangan dari beberapa kegiatan ketahanan pangan diklaim oleh KPK terkait dengan isu Kredit Usaha Rakyat (KUR), subsidi benih, pupuk bersubsidi, asuransi pertanian, dan pengadaan komoditas pangan strategis.

 

(Baca juga: Isu-Isu Krusial Sektor Ekstraktif dalam Pusaran Pemilu Presiden 2019)

 

Rachmi menyitir temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2018 yang menyebutkan adanya sengkarut tata niaga impor pangan. Hasil Pemeriksaan BPK menemukan sembilan kesalahan pemerintah. “Persetujuan impor tanpa pembahasan di rapat koordinasi antar kementerian, tidak kuat dalam menganalisis kebutuhan, hingga lemahnya pengawasan terhadap realisasi impor dan importi,” Rachmi memberikan contoh, Rabu (13/2).

 

Korupsi yang terjadi di sektor pangan membuktikan bahwa kebijakan ekonomi terbuka cenderung memusatkan keuntungan kepada pengusaha dan pejabat. Bahkan impor dilakukan bukan terkait kebutuhan dalam negeri. Rachmi menilai, pemerintah selama ini hanya mengklaim bahwa impor pangan karena tidak tercukupinya produksi pangan dalam negeri. Untuk itu, kata Rachmi, penting bagi publik mengetahui strategi yang akan dibawa oleh kedua Calon Presiden pada debat tahap kedua mendatang.

 

Rachmi menilai, dalam konteks kebijakan ekonomi terbuka, strategi swasembada pangan yang diangkat oleh pemerintah Indonesia selama ini belum menempatkan petani sebagai pelaku utama. Termasuk konsep swasembada yang bertumpu pada agenda ketahanan pangan ketimbang kedaulatan pangan, juga menjadi salah satu persoalan ketika pemenuhan ketersediaan pangan tidak dilihat dari sumbernya, dalam hal ini kemandirian pangan.

 

Menurut Rachmi, konsep swasembada yang selama ini diterapkan lebih bertumpu pada aspek keterjangkauan. Ini menjadikan pangan yang diproduksi oleh petani lokal menjadi termarjinalkan. Pemerintah dinilai lebih memilih substitusi produk impor. Membuka impor di sektor pertanian tanpa upaya perbaikan terhadap kualitas pembangunan pertanian Indonesia pada akhirnya menghilangkan kesempatan pelaku usaha pangan lokal.

Tags:

Berita Terkait