Reformasi Regulasi Sektor Energi Harus Jadi Prioritas
Debat Capres II:

Reformasi Regulasi Sektor Energi Harus Jadi Prioritas

Peningkatan konsumsi di tengah menurunnya pencadangan dan pengembangan infrastruktur, menempatkan Indonesia pada resiko ketergantungan impor energi.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Kedua paslon presiden dan wapres mengapit Ketua KPU Arif Budiman sebelum debat pilpres I. Foto: RES
Kedua paslon presiden dan wapres mengapit Ketua KPU Arif Budiman sebelum debat pilpres I. Foto: RES

Menjelang pelaksanaan debat kandidat tahap II Pasangan Calon Presiden/Calon Wakil Presiden yang akan diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Minggu, 17 Februari, terdapat sejumlah masukan dari berbagai kalangan terkait substansi debat. Debat yang akan mempertemukan kedua Calon Presiden dari masing-masing nomor urut ini akan mengangkat tema terkait Energi dan Pangan, Sumber Daya Alam, Lingkungan dan Infrastruktur. Dari sejumlah masukan yang ada, salah satu diantaranya adalalh terkait reformasi regulasi sektor energi di level makro.

Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Maryati Abdullah, mengingatkan terdapat sejumlah revisi Undang-Undang di sektor energi yang hingga saat ini belum selesai juga pembahasannya di DPR. Maryati mengapresiasi langkah Calon Presiden Joko Widodo yang saat ini sebagai Presiden, telah mengeluarkan sejumlah peraturan baik di level Pereaturan Presiden atau Peraturan Menteri di sektor energi. “Tapi dari sisi Undang-Undang tidak banyak berjalan,” ujar Maryati sesaat setelah menjadi pembicara dalam sebuah diskusi, Rabu (13/2) di Jakarta.

Revisi Undang-Undang sektor energi yang hingga saat ini mandeg pembahasannya di DPR adalah UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas yang oleh Putusan Mahkamah Konstitusi, sejumlah pasal di dalam kedua RUU tersebut sudah dibatalkan. Hal ini menjadikan reformasi kedua UU tersebut menjadi sangat mendesak. Menurut Maryati, publik ingin mengetahui pandangan kedua Calon Presiden terkait pembahasan kedua UU tersebut.

(Baca juga: Isu-Isu Krusial Sektor Ekstraktif dalam Pusaran Pemilu Presiden 2019).

Pekerjaan rumah lain regulasi di sektor energi adalah keselarasan dan harmonisasi kebijakan dan regulasi energi dengan sejumlah ketentuan sektoral. Misalnya, antara UU Energi dengan UU Migas - UU Pertambangan dan Ketenagalistrikan dan juga pada kebijakan turunan seperti RUEN-RUPTL-RKAB dan sebagainya. Tidak kalah penting adalah komitmen dan konsistensi pelaksanaan kebijakan energi dalam implementasinya. Problem terbesar sektor ini adalah adanya ketidakpastian hukum dan tidak adanya konsistensi pelaksanaan antar kebijakan atau antar regulasi.

Selain masukan terkait reformasi regulasi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan energi, PWYP mengingatkan terkait adanyaproblematika terkait ketersediaan energi, menipisnya cadangan, dan pengendalian konsumsi. Saat ini, cadangan sumber daya energi Indonesia semakin menipis di tengah menurunnya eksplorasi, pencadangan, dan investasi hulu. Berbagai sumber data yang dihimpun PWYP menyebutkan cadangan terbukti (proven reserve) minyak bumi diperkirakan akan habis kurang dari 10 tahun, batu bara hanya tersedia sampai kurang dari 28 tahun. Sementara cadangan gas bumi, meski masih dapat diproduksi hingga 43 tahun mendatang, dan potensi energi terbarukan melimpah, namun pemanfaatannya secara nasional masih sangat minim.

Konsumsi energi kian tahun terus meningkat (energi per kapita tumbuh rata2 7% per tahun:2012-2017) seiring pertambahan penduduk, kebutuhan industri dan kemajuan pembangunan nasional. Pwehatian PWYP juga terkait distribusi dan kontinuitas pemenuhan kebutuhan antara Jawa-Luar Jawa, dan antara kota-desa masih ada ketimpangan. Bagimana kedua kandidat dapat menjawab problem ketahanan energi ini dilihat dari aspek ketersediaan (availability) di berbagai wilayah dengan biaya yang terjangkau (affordability), mudah diakses (accessibility), dapat diserap oleh pasar/pengguna (acceptibility), dan berkelanjutan (continuity)?

PWYP juga mempertanyakanbagaimana arah dan strategi kedua Calon Presiden terkait Pengembangan Infrastruktur Energi Nasional, di tengah minimnya keberadaan kilang pengolahan minyak (refinary) atau penyimpangan stok (storage) membuat Indonesia menghadapi risiko krisis energi, yang rawan kekurangan pasokan dan ketergantungan pada impor (bahan bakar dan bahan mentah). Belum lagi sedikitnya ketersediaan infrastruktur energi lain seperti LNG Plants, SPBG untuk transportasi, dan kebutuhan pengembangan pipa jaringan gas bumi untuk konsumsi rumah tangga dan industri, membuat pemanfaatan cadangan gas bumi belum maksimal.

Tags:

Berita Terkait