Konstitusi Pendidikan, Pendidikan Konstitusi
Kolom

Konstitusi Pendidikan, Pendidikan Konstitusi

​​​​​​​Dengan pendekatan yang tepat, pendidikan konstitusi dapat menjadi investasi yang besar bagi keutuhan bangsa Indonesia di masa mendatang.

Bacaan 2 Menit
Arasy Pradana A Azis. Foto: Istimewa
Arasy Pradana A Azis. Foto: Istimewa

Konstitusi Pendidikan

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dibangun di atas kemewahan pendidikan. Untuk itu, kita harus sedikit berterima kasih pada arus balik politik hukum, kebijakan, dan pendekatan administrasi kolonialisme Belanda terhadap penduduk Nusantara jelang akhir abad ke-19. Sebelumnya, selama berabad-abad, administrasi kolonial berorientasi sepenuh-penuhnya pada upaya eksploitasi terhadap kekayaan alam Nusantara.

 

Pada setiap masanya, eksploitasi diarahkan pada pemenuhan permintaan pasar Eropa. Pada periode awal, rempah-rempah sempat menjadi komoditas pionir untuk melawan musim dingin yang keji. Namun belakangan, ladang-ladang baru dibuka untuk memenuhi permintaan yang bergeser pada gula dan kopi.

 

Selama periode itu, yang sedang mengalami perambahan sesungguhnya bukan saja lanskap dan alam raya Indonesia. Setiap tatanan kolonialisme, mau tidak mau, juga berarti eksploitasi terhadap sumber daya manusianya. Sebagai warga kelas tiga, kaum pribumi sengaja dikondisikan sebagai pekerja tuna aksara bagi kekayaan bangsa Eropa.

 

Melalui kebijakan yang sistematis, tatanan masyarakat direkayasa demi melanggengkan kolonialisme. Mereka harus dijauhkan dari pendidikan agar tetap menanam komoditas yang laku di pasaran Eropa, tidak banyak bertanya, dan akhirnya tidak mengenal kata “perlawanan”.

 

Satu-satunya pembelajaran informal yang mereka dapatkan adalah tentang mengubah kultur pertanian dari sawah-sawah petak menjadi perkebunan skala raksasa, dari penanam padi menjadi penanam tebu. Pengajaran itu berkontribusi pada perubahan petani pribumi dari pemilik lahan menjadi pekerja untuk perkebunan kolonial.

 

Beruntung, jelang akhir abad ke-19, kolonialisme Eropa mulai menyadari pentingnya pendidikan bagi golongan pribumi. Sekalipun, kesadaran ini lahir justru dari motif untuk mempertahankan kekuasaan Eropa di Nusantara selama mungkin. Sebuah esai berjudul Eereschuld (Utang Budi) gubahan van Deventer memicu arus balik tersebut, yang kemudian berkembang menjadi sebuah cetak biru politik hukum bernama “Politik Etis”. Politik Etis mengedepankan pengajaran bagi pribumi, selain irigasi dan emigrasi, sebagai program utamanya.

 

Generasi awal yang menikmati kemewahan pendidikan inilah, baik di dalam maupun di luar Hindia, yang kelak menjadi para penggerak kemerdekaan Indonesia. Beberapa nama yang terkenal adalah Muhammad Hatta dan Soepomo. Sedangkan di sekitaran sekolah-sekolah tinggi bentukan Belanda di dalam negeri untuk pribumi, lahir organisasi-organisasi pergerakan nasional. Di STOVIA, sekelompok calon dokter dari kalangan priyayi Jawa berhasil menginisiasi Boedi Oetomo. Sementara THS Bandung, yang menjdi cikal bakal ITB, menjadi tempat menimba ilmu calon pemimpin Indonesia pertama, Soekarno.

Tags:

Berita Terkait