Regulasi Ketenagakerjaan Mesti Adopsi Perkembangan Revolusi Industri 4.0
Utama

Regulasi Ketenagakerjaan Mesti Adopsi Perkembangan Revolusi Industri 4.0

Antara lain berpotensi mengubah bentuk hubungan kerja, pola kerja, pilihan lembaga penyelesaian sengketa.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Hakim Ad Hoc PHI pada MA , Sugeng Santoso saat menjadi pembicara diskusi dengan topik 'Tantangan Perubahan Hubungan Industrial dalam Revolusi Industri 4.0.' yang diselenggarakan Hukumonline, Selasa (19/2). Foto: RES
Hakim Ad Hoc PHI pada MA , Sugeng Santoso saat menjadi pembicara diskusi dengan topik 'Tantangan Perubahan Hubungan Industrial dalam Revolusi Industri 4.0.' yang diselenggarakan Hukumonline, Selasa (19/2). Foto: RES

Tantangan ekonomi di era disrupsi Revolusi Industri 4.0 semakin berdampak besar pada perkembangan industri termasuk masalah ketenagakerjaan baik dari sisi regulasinya maupun cara kerja manusia. Revolusi industri 4.0 tidak hanya mengubah cara kerja, tapi juga cara hidup manusia. Misalnya, saat ini gawai menjadi salah satu alat penting untuk menjalani kegiatan setiap hari.

 

Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Mahkamah Agung (MA), Sugeng Santoso mengatakan ketika revolusi industri pertama bergulir, proses produksi yang mayoritas menggunakan tenaga manusia beralih sebagian menjadi mesin uap. Sekarang, revolusi industri berkembang menjadi 4.0, kemajuan teknologinya mengarah pada kecerdasan buatan.

 

Ditegaskan Sugeng, dampak revolusi industri 4.0 menyasar banyak hal, tak terkecuali bidang ketenagakerjaan. Pertumbuhan aplikasi berbasis telepon pintar membuka peluang bisnis baru bagi sebagian kalangan. Satu contoh, berbagai perusahaan berbasis aplikasi mulai bermunculan antara lain ojek dan taksi daring. Aplikasi transportasi daring ini digunakan oleh pengemudi ojek atau taksi daring untuk menerima pesanan dari pelanggan.

 

Uniknya, kata Sugeng, hubungan antara perusahaan penyedia aplikasi itu dengan para pengemudi tidak dapat dikategorikan sebagai hubungan kerja. Mengacu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

 

Sementara dalam kasus transportasi daring ini ketiga unsur itu tidak terpenuhi karena terjadi bias. Misalnya, siapa yang memberi perintah kepada pengemudi? Apakah perusahaan aplikasi atau pelanggan yang mengajukan pesanan?

 

“Dalam kasus pengemudi online ini terjadi bias, mana yang disebut pemberi kerja, siapa yang memberikan perintah, dan siapa yang memberi upah,” kata Sugeng dalam acara diskusi bertajuk “Tantangan Perubahan Hubungan Industrial dalam Revolusi Industri 4.0 yang digelar Hukumonline.com di Jakarta, Selasa (19/2/2019). Baca Juga: Revolusi Industri 4.0 Ubah Relasi Hubungan Kerja, Begini Pandangan Pengusaha dan Akademisi

 

Menurut Sugeng, hukum ketenagakerjaan mesti mengantisipasi atau mengadopsi perkembangan revolusi industri 4.0 itu. Jika tidak ada regulasi ketenagakerjaan yang mengaturnya, revolusi industri ini bisa menimbulkan masalah. Misalnya, terkait hubungan antara pengemudi dan aplikasi transportasi daring itu. Belum lagi, ketika terjadi sengketa, butuh ketentuan yang mengatur bagaimana penyelesaiannya apakah melalui pengadilan hubungan industrial (PHI) atau pengadilan perdata.

Tags:

Berita Terkait