Tantangan dan Peluang Advokat Indonesia dalam Perekonomian Global Terkait Artificial Inteligence
Kolom

Tantangan dan Peluang Advokat Indonesia dalam Perekonomian Global Terkait Artificial Inteligence

Perekonomian global ternyata tidak hanya telah membuktikan kedigdayaannya dengan menciptakan pasar dan aktivitas bisnis global di dunia nyata, akan tetapi juga di dunia maya.

Bacaan 2 Menit
Ricardo Simanjuntak. Foto: RES
Ricardo Simanjuntak. Foto: RES

Kecanggihan teknologi internet dan era digital yang berkembang sangat pesat, telah mampu menghasilkan kualitas visual dan interaksi elektronik (on-line transactions) yang semakin setara dengan nilai interaksi nyata (off-line transactions). Kompetisi global, secara agresif, telah mendorong pengggunaan kekuatan teknologi informasi, tidak lagi terbatas pada tindakan otomasi terhadap proses produksi, visualisasi produk dan media bertransaksi, tetapi juga telah melangkah pesat, termasuk pada proses digitalisasi data dan pelayanan hukum melalui kehadiran mesin-mesin (robot) dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence-AI). Secara menakjubkan, AI telah semakin mampu menyerupai konstruksi berfikir kognitif manusia (human intelligence). Mulai dari kemampuan mengingat, menerjemahkan, menganalisis hingga pada kemampuan memecahkan masalah-masalah hukum.

 

Pekerjaan-pekerjaan advokat yang berbasis pengumpulan data (data collection), pemberian arti atau analisis makna dari suatu terminologi, atau peristiwa yang dilekatkan  pada sejarah data (historical data) dan bersifat terstuktur dan terukur, termasuk interpretasi dan analisis kontrak komersial standar, merupakan pekerjaan-pekerjaan yang mulai dengan mudah diambil alih oleh mesin-mesin cerdas dari tangan para advokat. Contohnya, Deloitte dalam publikasi Harvard Journal of Law and Technology mengklaim bahwa dalam masa waktu 10 tahun ke depan, sekitar 39 persen dari pekerjaan advokat dapat diotomasi, berpindah pada kemampuan mesin-mesin cerdas tersebut.

 

Media the Independent terbitan 28 Februari 2017 juga memberitakan bahwa mesin pintar bernama COIN (Contract Intelligence) yang dioperasikan oleh JPMorgan dinyatakan mampu menganalisis suatu perjanjian kredit hanya dalam hitungan detik, dengan tingkat kesalahan yang minimum. Software cerdas tersebut bahkan telah mampu menghemat sekitar 360.000 jam dari waktu yang biasanya diberikan kepada advokat untuk melakukan pekerjaan yang sama dalam satu tahun.

 

Pekerjaan-pekerjaan yang diambil alih AI pada umumnya masih merupakan bentuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat pola terformat (formatted template), yakni pekerjaan-pekerjaan oleh para advokat junior (yang walaupun dalam proses akhir hasil pekerjaan, akan didampingi oleh advokat senior). Tetapi, pertumbuhan teknologi kecerdasan dari mesin-mesin buatan manusia diyakini tidak akan berhenti, dan terus berkembang menuju kesempurnaan. Dalam pengertian robotik, akan semakin mampu menghasilkan karya-karya layanan jasa hukum yang bersifat analitis, taktis dan situasional dengan hasil yang lebih akurat, lebih cepat dan lebih murah daripada menggunakan jasa advokat.

 

Tidak mengherankan, seperti yang ditulis oleh Gary E. Merchant, bahwa  media-media Barat sejak beberapa tahun lalu telah membunyikan lonceng peringatan bagi para advokat dengan judul-judul berita, misalnya: “Why hire a lawyer? Machines are cheaper.” atau “Armies of expensive lawyers replaced by cheaper software”, atau “You should stop practicing law now and find another profession”.

 

Lonceng peringatan tersebut tidak hanya berdentang di negara-negara maju seperti Eropa, Jepang, atau Amerika, tetapi juga Indonesia. Bagaimanapun, Indonesia adalah bagian tidak terpisahkan dari pertumbuhan aktivitas perekonomian global, dan telah pula secara pasti menyatakan kesiapan menghadapi revolusi industri 4.0.

 

Saat ini ada sekitar 60 ribu advokat Indonesia, baik yang berprofesi di kantor-kantor hukum maupun perusahaan-perusahaan (in-company lawyers) di seluruh pelosok Indonesia. Selain itu, ada begitu banyak mahasiswa Indonesia yang sedang mempelajari hukum di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, termasuk pula yang sedang mendalami program magister hukum atau bahkan program doktoral dengan kekhususan Ilmu Hukum. Apakah memang betul, dengan kehadiran AI,  profesi advokat tidak lagi dibutuhkan di masa yang akan datang?

Tags:

Berita Terkait