Putusan MK UU Perjanjian Internasional: Apa yang Diubah?
Kolom

Putusan MK UU Perjanjian Internasional: Apa yang Diubah?

​​​​​​​Dengan penafisran baru ini maka lahirlah kriteria yang sama, baik untuk perjanjian antar negara maupun untuk perjanjian antara Indonesia dengan subjek bukan negara.

Bacaan 2 Menit
*)Dr. iur. Damos Dumoli Agusman. Foto: RES
*)Dr. iur. Damos Dumoli Agusman. Foto: RES

Sekali lagi MK menyentuh perjanjian internasional. Kali ini pada tanggal 22 November 2018, MK mengeluarkan putusannya atas UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yakni menolak 3 dari 4 permohonan pembatalan. Permohonan yang disetujui adalah Pasal 10, oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD jika dimaknai bahwa hanya jenis perjanjian tertentu saja yang harus mendapatkan persetujuan DPR (yakni hanya soal politik, perdamaian, hankam, batas wilayah, kedaulatan atau hak berdaulat, HAM, LH, kaidah baru dan pinjaman LN).

 

Pada dasarnya MK menegaskan kembali bahwa tidak semua perjanjian internasional harus mendapat persetujuan DPR. Namun soal kriterianya, inilah yang dibongkar oleh MK dan diganti dengan kriteria “menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.

 

Putusan ini sendiri tidak kontroversi. Praktik dewasa ini sudah sejalan, perjanjian perdagangan, misalnya, yang tidak masuk kategori Pasal 10 tetap harus disampaikan ke DPR untuk mendapat persetujuan. Namun Artikel ini mencoba mengungkapkan dan membahas argumentasi MK yang melahirkan beberapa hal baru, yang menurut penulis telah membereskan sekaligus menambah, jika tidak “memperkeruh”, beberapa kontroversi akademik selama ini.

 

Tafsir Baru Terhadap Pasal 11 UUD

Selain persoalan kriteria, MK juga melakukan tafsir baru atas Pasal 11 UUD 1945 khususnya relasi antara ayat (1) dan ayat (2). Pasal 11 ayat (1) menyatakan “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Ayat ini adalah produk dari BPUPKI tahun 1945 dan pada umumnya dimaknai sebagai perjanjian antar negara saja karena pada era ini tidak dikenal perjanjian dengan selain negara.

 

Tidak terdapat kriteria dalam ayat ini sehingga lahirlah Surat Presiden No. 2826 Tahun 1960 kepada DPR yang menetapkan kriteria bahwa perjanjian yang penting saja (yang sering dinamai dengan “traktat”) yang perlu mendapatkan persetujuan DPR. Kriteria ini selanjutnya dinormakan dalam UU No. 24 Tahun 2000.

 

Selanjutnya terjadi dinamika pada praktik Indonesia. Penandatangan Letter of Intent antara Indonesia dan IMF tahun 1998 telah melahirkan kontroversi publik tentang perjanjian ini, yang dianggap menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait beban keuangan negara. Namun karena perjanjian ini bukan antara negara melainkan dengan organisasi internasional maka Pasal 11 UUD tidak berlaku sehingga perjanjian ini tidak memerlukan persetujuan DPR.

 

Kontroversi ini telah mendorong adanya amandemen pada pasal 11 sehingga melahirkan ayat (2) yang menyatakan: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait