Kasus Robertus Robet Dinilai Ancaman Bagi Kebebasan Sipil di Masa Reformasi
Berita

Kasus Robertus Robet Dinilai Ancaman Bagi Kebebasan Sipil di Masa Reformasi

Dosen sekaligus aktivis HAM Robertus Robet menjadi tersangka karena dituduh menghina TNI saat berorasi di aksi Kamisan, 28 Februari 2019. Polisi membidiknya dengan UU ITE.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Kasus Robertus Robet Dinilai Ancaman Bagi Kebebasan Sipil di Masa Reformasi
Hukumonline

Penangkapan dosen yang juga aktivis HAM Robertus Robet, Rabu (6/3) oleh kepolisian lantaran dituding menghina TNI saat berorasi di aksi Kamisan, 28 Februari 2019, mendapat sorotan publik. Robet ditetapkan tersangka dan dikenakan Pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 Tahun 2009 tentang ITE dan atau/ Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

 

Aksi Kamisan tersebut menyoroti rencana pemerintah untuk menempatkan TNI pada kementerian-kementerian sipil. Rencana ini jelas bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara sebagaimana diatur Pasal 30 ayat (3) UUD 1945 dan amandemennya, UU TNI dan TAP MPR VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Hal ini juga berlawanan dengan agenda reformasi TNI.

 

Memasukan TNI di kementerian-kementerian sipil juga mengingatkan pada dwi fungsi ABRI pada masa Orde Baru yang telah dihapus melalui TAP MPR X/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyemangat dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara dan TAP MPR VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI.

 

Dalam rilis yang dikutip hukumonline, Jumat (8/3), Tim Kebebasan Berekspresi yang terdiri dari KontraS, YLBHI, LBH Jakarta, Imparsial, Indonesian Legal Roundtable, Lokataru Kantor Hukum dan HAM, AJAR, Amnesty Internasional Indonesia, Protection Internasional, hakasasi.id, Perludem, Elsam, sorgemagz.com, Solidaritas Perempuan, dan Jurnal Perempuan, memberikan pandangan terkait masalah ini.

 

Tim Kebebasan Berekspresi berpendapat bahwa Robet tidak sedikitpun menghina institusi TNI. Dalam refleksinya, Robet justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional. “Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru,” kata Direktur Eksekutif YLBHI, Asfinawati, mewakili Tim Kebebasan Berekspresi dalam rilis tersebut.

 

Menurutnya, pasal-pasal yang dikenakan terhadap Robet adalah pasal-pasal yang selama ini kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi (draconian laws) dan tidak tepat. Pasal 207 KUHP menyatakan, "barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan”.

 

Selain itu, Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dalam pertimbangannya menyatakan "dalam masyarakat demokratik yang modern maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat dan daerah)".

Tags:

Berita Terkait