Kontroversi WNA Masuk Daftar Pemilih Tetap Jelang Pemilu 2019
Berita

Kontroversi WNA Masuk Daftar Pemilih Tetap Jelang Pemilu 2019

Keteledoran atau kesalahan pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan?

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS
Ilustrasi pemilu. Ilustrator: BAS

Masyarakat awam biasanya menggunakan logika sederhana. Memilih dalam pemilu adalah hak setiap penduduk yang sudah berusia 17 tahun ke atas. Usia itu dapat dilihat dari tanggal lahir yang tertera dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena setiap penduduk yang sudah berusia 17 tahun ke atas berhak mendapatkan KTP. Artinya, semua orang yang sudah punya KTP berhak untuk memilih pada pemilu 17 April mendatang.

Logika sederhana itu bukan tanpa dasar. Pasal 348 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan empat kategori pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Pertama, pemilik KTP elektronik yang terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) di TPS bersangkutan. Kedua, pemilik KTP elektronik yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan. Ketiga, pemilik KTP elektronik yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan. Keempat, penduduk yang telah memiliki hak pilih.

Kategori ini menjadi kontroversi karena dalam DPT yang disusun Komisi Pemilihan Umum ada banyak warga negara asing. Apakah WNA puya hak pilih? Dalam konteks pemilu di Indonesia, jelas bahwa hanya WNI yang punya hak memilih. Lantas, kok bisa masuk WNA dalam DPT? Jumlahnya pun tidak sedikit.

Sekretaris Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, I Gede Suratha menyebutkan jumlah WNA yang memiliki KTP elektronik (KTP-el) mencapai 1.680 orang. Mereka tersebar di Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan daerah lain. Sebagian bekerja di sektor pariwisata. Tetapi sejauh ini yang berhasil dilacak KPU dan masyarakat sipil hanya ratusan WNA yang terdaftar di DPT.

Lepas dari jumlahnya, masuknya WNA dalam DPT disayangkan banyak pihak. Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Muhammad Afifuddin, menduga persoalan ini muncul karena kekurangtelitian pada saat proses pencocokan dan penelitian (coklit) daftar pemilih. Proses coklit idealnya telah dilakukan di awal sejak pemutakhiran data pemilih. Seharusnya juga bisa dilacak pada proses pemeliharan data pemilih yang sangat menuntut ketelitian. Dalam proses ini, terhadap data baru yang belum dimasukkan dapat segera dimasukkan, dan data yang harus diperbaiki atau dihapus dapat dicoret.

Untuk itu, langkah tepat mengatasi persoalan ini adalah menghapus WNA dari DPT.  “Sampai hari H masih ada proses untuk bisa menghapus. Kita ambil baiknya saja untuk kemudian memastikan kalau memang seharusnya tidak masuk dalam DPT, ya bisa dihapus dan itu sudah kita lakukan,” ujar Afif, di sela-sela acara Rakornas Bawaslu, Selasa (5/3), di Jakarta.

Langkah ini pula yang dipilih KPU. Komisioner KPU Viryan Azis menegaskan bahwa pihaknya telah menginstruksikan KPUD untuk melakukan verifikasi data lapangan atas temuan WNA dalam DPT. Sudah lebih dari 103 nama yang diterima KPU. KPUD berusaha memverifikasi dengan menemui langsung orang-oran yang disebut dalam DPT. Menurut Viryan, ada beberapa kemungkinan temuan di lapangan. Pertama, sudah tidak ada di DPT (karena langsung dicoret setelah ramai dipemberitaan). Kedua, jika masih ada di DPT akan langsung dicoret. Ketiga, KPU menemukan hal lain di luar kedua kemungkinan tersebut.

Tags:

Berita Terkait