Scrutiny, Cara Anyar Pastikan Putusan Arbitrase Asing Dapat Dieksekusi
Fokus

Scrutiny, Cara Anyar Pastikan Putusan Arbitrase Asing Dapat Dieksekusi

Kerapkali putusan arbitrase asing dipersoalkan pihak yang kalah, diupayakan sedemikian rupa agar tak bisa dieksekusi. Terlebih, bilamana arbiter yang memutus tidak familiar dengan hukum lokal tempat objek eksekusi tersebut berada.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Senior Partner Assegaf Hamzah & Partner (AHP) Eri Hertiawan. Foto: RES
Senior Partner Assegaf Hamzah & Partner (AHP) Eri Hertiawan. Foto: RES

Pasca diratifikasinya Konvensi New York melalui Keppres No.34 Tahun 1981, idealnya putusan arbitrase asing dapat dengan mudah dieksekusi di Indonesia mengingat Pasal III Konvensi New York mempersyaratkan agar eksekusi putusan arbitrase asing dari Negara peserta konvensi tidak boleh lebih sulit daripada eksekusi putusan arbitrase domestik. Hanya saja, masih bertebaran anggapan di kalangan stakeholder lokal bahwa arbitral awards asing masih kerap kali terhambat dalam proses eksekusi.

 

Jika ditelusuri, penyebabnya berporos pada keengganan pihak yang kalah untuk menghormati putusan arbitrase asing. Alhasil, berbagai cara dilakukan agar putusan tersebut memperoleh status non excecuatur order (perintah tak dapat dieksekusi dari PN Jakarta Pusat) atau bahkan dimintakan pembatalan. Ditambah lagi, UU arbitrase Indonesia memang membuka ruang bagi pengadilan untuk masuk.

 

Salah satu prasyarat yang kerap digunakan pihak yang kalah agar putusan arbitrase asing tak diakui berdasarkan Pasal 66 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS), yakni adanya pertentangan dengan public order atau ketertiban umum.

 

Selain itu, syarat pembatalan putusan Arbitrase seperti surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan diakui palsu, terdapat dokumen yang disembunyikan lawan serta putusan diambil dari hasil tipu muslihat turut membuka peluang tersendiri untuk memperpanjang proses eksekusi putusan arbitrase (vide: Pasal 70 UU Arbitrase & APS).

 

Tak sampai di situ, Senior Partner Assegaf Hamzah & Partner (AHP) Eri Hertiawan menyebut kini terdapat perkembangan pemeriksaan arbitrase yang dasarnya adalah gugatan wanprestasi lalu digeser sedemikian rupa seolah-olah ini bukan wanprestasi melainkan perbuatan melawan hukum (PMH) bahkan terkadang juga dibawa ke forum pidana. Sehingga dengan alasan itu, pengadilan kemudian mengadili perkara tersebut.

 

Akan tetapi, katanya, berkat kesakralan Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase & APS, akhirnya putusan Pengadilan Negeri yang memeriksa pokok perkara tersebut dibatalkan Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi.

 

(Baca Juga: Eksekusi Arbitrase Terkendala, Usulan Ini Mungkin Bisa Menjadi Solusinya)

 

Untuk itu, sudah semestinya para pihak tak lagi mengajukan pemeriksaan pembatalan yang juga disisipkan di dalamnya upaya agar PN memeriksa dan mengadili pokok perkara atau sengketa para pihak yang telah diselesaikan melalui jalur arbitrase.

Tags:

Berita Terkait