UU Pemilu Dinilai Potensi Hambat Hak Pilih Kelompok Rentan
Utama

UU Pemilu Dinilai Potensi Hambat Hak Pilih Kelompok Rentan

Mulai masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di lapas dan rutan, hingga pemilih lain yang tidak mempunyai akses cukup untuk memenuhi syarat pembuatan e-KTP.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar dua sidang uji materi Pasal 210 ayat (1), Pasal 348 ayat (4), ayat (9), Pasal 350 ayat (2), Pasal 383 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait prosedur administratif keikusertaan masyarakat dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) pada 17 April 2019.

 

Misalnya, kedua Pemohon ini mempersoalkan mulai lokasi tempat pemungutan suara (TPS), proses penghitungan suara di TPS, pindah lokasi untuk memilih yang berhubungan dengan Daftar Pemilih Tetap Tambahan (DPTb), hingga syarat memilih harus memiliki KTP elektronik (e-KTP). Sebab, aturan itu berpotensi menghambat, menghalangi, dan mempersulit hak konstitusional warga negara serta mengganggu keabsahan pemilu.  

 

Permohonan pertama dengan No. 20/PUU-XVII/2019 diajukan oleh Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini; Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay; Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas Feri Amsari; dua orang warga binaan di Lapas Tangerang Augus Hendy dan A. Murogi bin Sabar; dan dua karyawan Muhamad Raziv Barokah dan Sutrisno.

 

Dalam sidang perdana, Muhamad Raziv menganggap hak memilih sebagai hak konstitusional yang harus dilindungi, tidak boleh dihambat, dihalangi, atau dipersulit oleh ketentuan prosedur administratif. “Aturan yang diuji konstitusionalitasnya yakni pasal-pasal yang secara prosedur administratif menghambat, menghalangi, dan mempersulit warga negara untuk menggunakan haknya dalam pemilu. Aturan itu, harus dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945,” kata Raziv di ruang sidang MK, Kamis (14/3/2019).

 

Ia mengungkapkan masih banyak warga negara yang punya hak pilih, tetapi belum memiliki e-KTP dan pemilih yang baru akan menginjak usia 17 tahun saat hari-H pemungutan suara pada 17 April 2019. Namun, mereka terancam tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak memiliki e-KTP. (Baca Juga: Aturan yang Hambat Hak Memilih Resmi Diuji)

 

Menurutnya, pasal-pasal itu berpotensi menghilangkan, menghalangi atau mempersulit hak memilih dalam pemilu bagi kelompok rentan. Seperti, masyarakat adat, kaum miskin kota, penyandang disabilitas, panti sosial, warga binaan di lapas dan rutan, dan pemilih lain yang tidak mempunyai akses cukup untuk memenuhi syarat pembuatan e-KTP.

 

“Kami berpendapat untuk menyelamatkan suara-suara pemilih perlu dibuat dasar hukum pembentukan TPS Khusus, yaitu TPS yang dibuat berbasis DPTb pada lokasi dimana para pemilih demikian berada,” usulnya dalam persidangan.

Tags:

Berita Terkait