Disrupsi Hukum, Matinya Profesi Advokat?
Kolom

Disrupsi Hukum, Matinya Profesi Advokat?

​​​​​​​Suatu keniscayaan jika lawyer di era disrupsi ini harus menjadi the long life learner yakni manusia pembelajar yang tiada henti.

Bacaan 2 Menit
TM Luthfi Yazid. Foto: Istimewa
TM Luthfi Yazid. Foto: Istimewa

Salah satu dari empat syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata (BW) yakni, unsur “kecakapan berbuat menurut hukum”. Kemudian pada Pasal 1330 menyebutkan siapa saja orang-orang yang dianggap tidak cakap menurut KUHPerdata, yakni orang yang belum dewasa. Sampai di sini tidak ada masalah.

 

Nah yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan anak SD yang baru berumur 10 tahun misalnya, namun sudah pandai bermain smartphone terus pesan Pizza Hut atau KFC dan pesanannya datang? Apakah transaksinya tidak sah? Sampai di sini juga pasti timbul perdebatan. Mungkin ada yang ngotot bilang sah selama belum ada yang mempersoalkan, tapi mungkin juga ada yang bilang tidak sah karena umur 10 tahun belum dewasa.

 

Cukup dua contoh saja yang hendak dikemukakan di sini. Pertama, ada sebuah peraturan (dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan) yang menyebutkan bahwa setiap penyelenggara taksi harus punya pool atau lahan. Bagaimana dengan taksi online seperti Grab, Go-Car dan lain-lain yang tidak punya pool yang sering disebut sebagai “musuh tidak kelihatan?” (the unseen competitors).

 

Kedua, terkait Intellectual Property Law (HKI). Kalau pre-disruption dulu kita mendengarkan  lagu-lagu misalnya melalui kaset, CD, atau USB. Sekarang generasi milenial melalui Spotify, Joox, iTunes dan lain sebagainya yang bisa diakses dengan mudah dan jumlah yang melimpah. Demikian juga terkait UU Merek di mana orang sekarang dapat mengenali merek smartphone hanya dari bunyi atau hologramnya saja. Tidak perlu melihat gambar atau logo smartphone dan hanya dari bunyinya (deringnya) saja seseorang sudah dapat mengidentifikasi smartphone merek apa. Pada titik ini pun para ahli hukum akan berdebat.   

 

Hal tersebut hanyalah sebagian contoh dari suatu era yang belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented), atau sering disebut sebagai “disruption in legal industries”. Beberapa fakta berikut ini menjadi pendorong makin kencangnya disrupsi di bidang hukum yaitu: digital documents, data processing, chatbots, flexible working dan predictive analytics.

 

Kini pun berseliweran berbagai terminology seperti  e-court, e-lawyer, digital lawyers, Revolusi Industry 4.0, Society 5.0 dan lain sebagainya. Di Uni Eropa penggunaan Online Dispute Resolution (ODR) di mana yang jadi hakim atas suatu sengketa kontraktual adalah  robot dan sudah dilegalisasi oleh European Union. Mereka yang bersengketa “diadili” oleh robot di pengadilan tingkat pertama (first instance court) dan mereka baru ketemu dengan hakim yang manusia pada tahapan banding (appeal/high court).

 

Bagaimana jika sistem ODR yang diterapkan di Uni Eropa kemudian diadopsi oleh Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community)? Di beberapa yurisdiksi saat ini juga sudah dikembangkan Internet Dispute Resolution (iDR), Electronic Dispute Resolution (eDR), Electronic Alternative Dispute Resolution (eADR), Online Alternative Dispute Resolution (oADR).

Tags:

Berita Terkait