KAI Menuju Organisasi Advokat Modern Berbasis Digital
Tentang KAI

KAI Menuju Organisasi Advokat Modern Berbasis Digital

Dimulai dengan membangun database anggota KAI berbasis teknologi demi kemudahan calon pengguna jasa bantuan hukum dan advokat.

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Para Pimpinan DPP Kongres Advokat Indonesia. Foto: Istimewa.
Para Pimpinan DPP Kongres Advokat Indonesia. Foto: Istimewa.

Revolusi industri 4.0 berdampak besar bagi semua lini. Untuk menghadapinya, kita mesti bergerak sigap. Perubahan di era digital berlangsung cepat. Karenanya, organisasi profesi pun mesti melakukan perubahan melalui sistem digitalisasi, agar tidak tertinggal laju perubahan zaman. Langkah itu pun mulai dilakukan organisasi profesi, seperti Kongres Adokat Indonesia (KAI).  Antara lain, dimulai dengan melakukan pendataan anggota berbasis database.

 

Memastikan jumlah anggota yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia adalah hal pertama yang dilakukan KAI. Setelah memastikan sebanyak 23,879 orang anggota, maka perlu diketahui sebarannya di seluruh Indonesia. Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto membenarkan pihaknya mulai melakukan perubahan menjadi organisasi profesi yang berbasis digital.

 

Meski di kalangan internal pun terdapat kalangan yang tidak menyetujui langkah yang ditempuhnya, tetapi Tjoetjoe yakin keputusannya tepat di era digital. Sebab, tanpa ikut masuk dalam dunia digital, maka organisasi profesi advokat yang dipimpinnya bakal tertinggal.

 

Baginya, tentangan dari sejumlah kalangan di internal dapat diselesaikan melalui diskusi dan kerja kongkret. Hal yang pasti, KAI mesti jauh lebih maju sebagai organisasi profesi advokat. “Kalau saya tidak membawa KAI ke arah itu, maka saya akan membawa KAI ini menjadi organisasi yang primitif dan tertinggal,” ujar Tjoetjoe.

 

Tak dapat dimungkiri, dari dua puluhan ribuan anggotanya, hanya terdapat 20 persen yang memahami teknologi. Pendek kata, teknologi berbasis digital seolah belum menjadi kebutuhan. Namun, mau tak mau, advokat mesti mengikuti perkembangan dunia teknologi. Soalnya advokat yang tidak familier dan tidak paham teknologi bakal tertinggal jauh.

 

“Tetapi ke depan,  saya tidak menemukan  pintu lain,  selain masuk ke dunia digital. Jadi, kalau dunia ini ada pintu, maka tidak ada lorong lain selain lorong digital. Dan saya pasti mengarah ke sana,” ujarnya.

 

Sadar akan pentingnya digitalisasi abad ke 21, puluhan ribu anggotanya di organisasi profesi advokat itu bakal diarahkan Tjoetjoe menuju berbasis digital. Memang, advokat tak banyak yang memahami dunia digital. Tjoetjoe pun mengakuinya. Namun, era digitalisasi memaksa siapa pun,  termasuk advokat untuk dapat memahaminya. Soalnya, semua pelayanan  terhadap klien bakal menggunakan teknologi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait