Permenristekdikti Program Profesi Advokat Dinilai Kesampingkan UU dan Putusan MK
Berita

Permenristekdikti Program Profesi Advokat Dinilai Kesampingkan UU dan Putusan MK

Karena bertentangan prosedur pengangkatan advokat dalam UU Advokat, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Putusan MK.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi advokat: BAS
Ilustrasi advokat: BAS

Belum lama ini terbit Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) No.5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat (PPA) pada 22 Januari 2019 dan diundangkan dalam berita negara pada 24 Januari 2019. Intinya, Permenristekdikti ini mengatur prosedur menjadi advokat harus menjalani PPA yang diselenggarakan organisasi advokat bekerja sama dengan perguruan tinggi (fakultas hukum) berakreditasi B. 

 

Seperti termuat dalam Pasal 2-5 Permenristekdikti itu, lamanya masa studi PPA ini paling cepat 2 semester (1 tahun) dan paling lama 6 semester (3 tahun) dengan bobot 24 satuan kredit semester (sks) dengan wajib mencapai Indeks Prestasi Kumulutaif (IPK) minimal 3,00. Setelah lulus, mendapat gelar profesi Advokat yang diberikan oleh Perguruan Tinggi yang bersangkutan berikut sertifikasi dari organisasi advokat. Beleid ini mendapat tanggapan negatif dari kalangan advokat atau organisasi advokat.

 

Pangkal persoalannya, prosedur ini dinilai melanggar proses pengangkatan advokat seperti diatur UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang sudah berjalan selama ini. Mulai menempuh pendidikan khusus profesi advokat (PKPA), ujian profesi advokat (UPA) yang diselenggarakan organisasi advokat, magang selama 2 tahun, pengambilan sumpah advokat di Pengadilan Tinggi setempat.                         

 

Selain Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), salah satu tanggapan negatif datang Kongres Advokat Indonesia (KAI). Presiden KAI Tjoetjoe Sandjaja Hernanto menilai Permenristekdikti tersebut melanggar UU Advokat dalam hal prosedur pengangkatan advokat. Permenristekdikti itu seolah hendak menghapus pelaksanaan PKPA dan ujian advokat yang selama ini dilakukan organisasi advokat.        

 

Hukumonline.com

 

Dia juga menilai Permenristekdikti itu selain bertentangan dengan UU Advokat, juga bertentangan dengan Putusan MK No. 95/PUU-XIV/2016 mengenai uji Pasal 2 ayat (1) UU Advokat yang diputus inkonstitusional bersyarat. Putusan MK itu hanya mengamanatkan penyelenggaraan PKPA dilakukan organisasi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi hukum atau sekolah tinggi hukum yang berakreditasi B.     

 

“Bagi KAI, Permenristekdikti 5/2019 itu berlebihan dan melampaui kewenangan UU Advokat dan Putusan MK No. 95/PUU-XVI/2016,” ujar Tjoetjoe saat dihubungi Hukumonline di Jakarta, Senin (25/3/2019). Baca Juga: Pemerintah Ubah Cara Rekrutmen Advokat, Sejalan atau Bertentangan dengan UU Advokat

 

Tjoetjoe mengakui Putusan MK No. 95/PUU-XIV/2016 menyebutkan penyelenggara PKPA adalah organisasi advokat dengan keharusan bekerja sama dengan perguruan tinggi yang berakreditasi minimal B. Namun, Pasal 2 ayat (2) Permenristekdikti 5/2019 penyelenggara PPA (bukan PKPA) adalah perguruan tinggi yang bekerja sama dengan organisasi advokat. “Jadi, Permenristekdikti 5/2019 dinilai telah ‘menyandera’ pelaksanaan PKPA yang dilaksanakan organisasi advokat. Menristekdikti offside,” sebutnya.

Tags:

Berita Terkait