Alasan MK Tolak Uji UU Jaminan Produk Halal
Berita

Alasan MK Tolak Uji UU Jaminan Produk Halal

Tidak ada kaitan sama sekali berlakunya UU 33/2014 dengan upaya menerapkan syariat Islam kepada seluruh masyarakat termasuk masyarakat nonmuslim sebagaimana dikhawatirkan Pemohon.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Foto: RES

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi sejumlah pasal mengenai proses sertifikasi halal dan definisi produk halal dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Pemohonnya, Paustinus Siburian yang berprofesi sebagai konsultan hukum produk halal yang mempersoalkan diktum pertimbangan huruf b; Pasal 1 angka 1; Pasal 3 huruf a; Pasal 4; Pasal 26 ayat (2); Pasal 65; dan Pasal 67 UU JPH.

 

Pasal-pasal itu intinya mengatur kewajiban sertifikasi halal yang pernah diputus oleh MK yang juga dipersoalkan Paustinus Siburian. Dalam putusan bernomor 5/PUU-XVI/2017 itu, Mahkamah menyatakan tidak menerima karena mengganggap permohonannya kabur atau tidak jelas. MK tidak memahami apa yang sesungguhnya yang diinginkan Pemohon.

 

Mengutip permohonan ini, bagian Menimbang huruf b diantara kata “agama” dan “untuk” seharusnya diselipkan kata “Islam”. Demikian juga dengan kata “masyarakat” harusnya “umat Islam”. Pemohon beralasan tujuan UU JPH untuk menjamin setiap pemeluk agama ”Islam” untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan “umat Islam”.

 

Selengkapnya, bunyi bagian Menimbang huruf b yaitu bahwa untuk menjamin setiap pemeluk agama untuk beribadah dan menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan jaminan tentang kehalalan produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.” Padahal, dalam Pasal 1 angka 2 UU JPH disebutkan, “Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.

 

Akan tetapi, Pemohon menilai UU JPH menyamaratakan semua agama sebagai yang mengenal konsep haram (atau halal). Dan setiap orang perlu jaminan halal, seperti termuat dalam tujuan UU JPH yang justru bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Karena itu, Pemohon berpendapat Pasal 4 UU JPH menimbulkan ketidakpastian hukum mengenai apa yang sebenarnya yang menjadi target UU JPH ini, yang produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.

 

Menurut Pemohon, kewajiban mencantumkan keterangan tidak halal pada kemasan produk atau pada produk itu sendiri sangat merugikan Pemohon. Seharusnya ada penegasan tidak halal itu untuk siapa? Sebab, tidak halal menurut syariat Islam tidak berarti tidak halal menurut agama/kelompok lain. Jika dalam kemasan atau bagian produk hanya disebutkan “tidak halal”. Untuk itu, Pemohon meminta MK menyatakan bahwa pasal yang diujikan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945.

 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai adanya ketentuan jaminan produk halal bukan upaya menerapkan syariat Islam kepada semua masyarakat termasuk masyarakat non-muslim. Secara sosiologis, UU JPH bertujuan memberikan perlindungan hukum berupa jaminan kehalalan produk yang dikonsumsi atau digunakan bagi umat Islam sesuai dengan ajaran agamanya.

Tags:

Berita Terkait