Meraba Potensi TPPU di Industri Fintech
Waspada Fintech Ilegal

Meraba Potensi TPPU di Industri Fintech

Industri apa pun yang berbasis teknologi digital memang akan sangat rentan dijadikan sarana pencucian uang bilamana fungsi kontrol pemerintah tak berjalan dengan baik.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Bila sebelumnya modus pencucian uang dikembangkan melalui pemecahan dana kedalam sejumlah rekening bank, kini seiring tumbuhnya berbagai model bisnis baru seperti peer to peer lending, pinjaman online, jual-beli investasi online, polis asuransi online, maka modus penyelundupan dana haram yang berasal dari predicate crime berpotensi besar menyasar sektor financial technology (fintech), khususnya fintech yang tak terdaftar di otoritas negara (fintech ilegal).

 

Mengantisipasi berbagai modus pencucian uang, Financial Action Task Force (FATF) telah mengeluarkan 40 rekomendasi terkait standar internasional di bidang pencucian uang dan pendanaan terorisme yang diadopsi oleh mayoritas yurisdiksi dunia melalui pengawasan FATF-style Regional Bodies (FSRBs). FSRBs untuk Negara-negara kawasan Asia Pasifik ditangani oleh Asia Pacific Group on Money Laundering (APG).

 

APG bertugas mengevaluasi kepatuhan pemenuhan 40 rekomendasi FATF para anggota, baik dari segi technical compliance assessment maupun effectiveness assetment melalui mutual evaluation review (MER) terhadap anggota setiap 4 tahun sekali. Indonesia sendiri telah menjadi anggota APG sejak 1999.

 

Dalam rentang 2017-2018, Indonesia telah menunjukan hasil yang cukup baik dengan meningkatnya rating yang diperoleh untuk 2 (dua) Rekomendasi, yaitu Rekomendasi 4 terkait legal framework penyitaan dan perampasan aset dan Rekomendasi 8 terkait legal framework non-profit organization, serta 2 (dua) Immediate Outcome (IO), yaitu IO2 terkait efektivitas kerja sama internasional dan IO8 terkait efektivitas penyitaan dan perampasan aset. Selengkapnya, berikut rating MER Indonesia yang ditetapkan pada APG plenary di Nepal 2018 lalu:

 

Hukumonline.com

 

Untuk diketahui, dasar hukum penerapan pengawasan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (PPT) tersebut di Indonesia tertuang dalam beberapa aturan seperti UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), UU No.9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), PP No.43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam PPTPPU dan POJK No. 12 Tahun 2017 tentang Penerapan Program APU PPT di SJK.

 

Khusus fintech P2P lending, pengaturan spesifiknya dalam kaitannya dengan regulasi anti pencucian uang merujuk pada POJK No. 12 Tahun 2017. Hanya saja, atas alasan penyesuaian waktu, POJK tersebut baru mulai berlaku pada tahun 2021 mendatang.

 

Merujuk Pasal 1 POJK a quo, industri fintech yang merupakan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dikategorikan sebagai Penyelenggara Jasa Keuangan (PJK) di sektor industri keuangan non bank. Konsekuensinya, fintech (PJK) wajib mengidentifikasi, menilai dan memahami risiko TPPU dan/atau TPPT terkait nasabah, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi atau jaringan distribusi.

Tags:

Berita Terkait