DPR dan Pemerintah telah menyetujui bersama pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menjadi Undang-Undang. Secara umum tidak banyak perbedaan melaksanakan Ibadan haji dan umrah. Pengesahan ini lebih ditujukan pada peningkatan kualitas pelayanan calon jamaah haji dan umrah. Wet baru ini menggantikan UU No.13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Lantas bagaimana mekanisme pengaturan penyelenggaraan ibadah haji secar reguler?. Dalam draf UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang hukumonline peroleh, ditegaskan bahwa penyelenggaraan ibadah haji reguler menjadi tanggung jawab pemerintah. Pemerintah punya kewajiban memberikan pelayanan maksimal bagi para calon jamaah hingga menjadi jamaah haji. Tanggung jawab penyelenggaraan ibadah haji reguler berada di pundak Menteri Agama.
Cuma, berdasarkan aturannya, tanggung jawab pelaksanaan ibadah dilakukan melalui satuan kerja (satker). Satker ini bersifat tetap dan terstruktur di tingkat daerah, pusat dan di Arab Saudi. Selain itu diatur perencanaan ibadah haji reguler meliputi penetapan dan pengisian kuota, penetapan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Kemudian, penyediaan akomodasi, konsumsi, trasportasi, dan kesehatan.
(Baca juga: Disahkan, 12 Hal Terbaru dalam UU Haji dan Umrah).
Playanan dokumen perjalanan ibadah haji dan visa serta penetapan petugas penyelenggara ibadah haji menjadi bagian dari perencanaan ibadah haji reguler. Menteri Agama menetapkan kuota haji bagi jamaah Indonesia. Begitupula kuota bagi provinsi jamaah haji reguler. Penetapan kuota haji pun dilakukan dengan prinsip transparan dan proporsional. Menteri membagi kuota haji reguler menjadi kuota haji provinsi.
Kuota haji terbagi menjadi dua, yakni kuota haji khusus dan reguler. Pembagian kuota haji reguler menjadi kuota haji provinsi berdasarkan pertimbangan proporsi jumlah penduduk musli antar provinsi. Kemudian juga proporsi jumlah daftar tunggu jamaah haji antar provinsi. Sebagai pimpinan provinsi, Gubernur dapat membagi dan menetapkan kuota haji provinsi ke dalam kuota haji kabupaten/kota. Pembagian ini didasarkan pada pertimbangan proporsi jumlah penduduk muslim kabupaten/kota, dan proporsi jumlah daftar tunggu jamaah haji pada masing-masing kabupaten/kota.
Pembagian serta penetapan kuota haji kabupaten/kota dilakukan paling lama 14 hari setelah penetapan kuota haji Indonesia. Pengaturan lebih lanjut terkait dengan pembagian kuota haji reguler bakla diatur melalui peraturan menteri nantinya. Diatur pula, dalam menetapkan kuota haji Indonesia, Menteri Agama memberi prioritas kuota bagi jamaah haji lanjut usia.
Setidaknya paling rendah berusia 65 tahun dengan persentase tertentu tentunya. Sama halnya dengan pembagian kuota, pemberian prioritas kuota bagi jamaah haji lanjut usia bakal dituangkan dalam aturan peraturan menteri. Lantas bagaimana bila kuota haji reguler tidak terpenuhi pada saat penutupan pengisian kuota kabupaten/kota, maka menteri dapat memperpanjang masa pengisian sisa kuota selama 30 hari.