Disrupsi Teknologi Jadi Tantangan Hukum Baru bagi Industri Distribusi
Berita

Disrupsi Teknologi Jadi Tantangan Hukum Baru bagi Industri Distribusi

Produsen dan distributor sering menjual produk kepada konsumen akhir. Hal ini merupakan salah satu larangan yang diatur dalam Permendag Nomor 22/2016.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Fadhillah Rizqy dan Greita Anggraeni dari SSEK Legal Counsultans, serta Partner SSEK Indonesian Legal Consultans, Dewi Savitri Reni, dalam Pelatihan Hukumonline 2019 “Membedah Aspek Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perjanjian Distribusi”, Senin (1/4) di Jakarta. Foto: RES
Fadhillah Rizqy dan Greita Anggraeni dari SSEK Legal Counsultans, serta Partner SSEK Indonesian Legal Consultans, Dewi Savitri Reni, dalam Pelatihan Hukumonline 2019 “Membedah Aspek Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perjanjian Distribusi”, Senin (1/4) di Jakarta. Foto: RES

Perkembangan teknologi membawa perubahan dalam kegiatan usaha termasuk salah satunya bagi industri distribusi atau penyaluran barang dan produk. Bayangkan saja, teknologi tersebut dapat memangkas rantai distribusi sehingga lebih mendekatkan hasil produksi kepada konsumen akhir.

 

Tentunya, hal ini terkesan positif karena muncul efesiensi rantai distribusi barang hingga dapat diterima konsumen. Namun, sisi lain, terdapat juga risiko pelanggaran hukum karena selama ini terdapat ketentuan-ketentuan yang diatur dalam berbagai regulasi seperti Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Perdagangan.

 

Kemudian terdapat juga peraturan lainnya seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 1997 tentang Pengakhiran Kegiatan Usaha Asing dalam Bidang Perdagangan, Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 11 Tahun 2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa dan Permendag Nomor 22 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang.

 

Dalam berbagai regulasi tersebut terdapat sejumlah aturan dan larangan yang harus dipenuhi perusahaan distribusi. Misalnya, Pasal 19 Permendag 22 Tahun 2016 menyatakan distributor dilarang menjual barang secara eceran kepada konsumen. Kemudian, distributor hanya dapat menyalurkan barang kepada pedagang kepada sub distributor, grosir, perkulakan dan/atau pengecer.

 

Namun, kehadiran teknologi seperti perdagangan elektronik atau e-commerce berpotensi mengubah rantai distribusi barang. Sehingga, distributor dapat secara langsung menjual barang kepada konsumen meskipun terdapat pelarangan yang diatur dalam Permendag 22/2016.

 

Partner SSEK Indonesian Legal Consultans, Dewi Savitri Reni, mengatakan pelanggaran tersebut sering terjadi pada industri distribusi. Terlebih lagi, disrupsi teknologi semakin memudahkan distributor menjual langsung barang kepada konsumen.

 

“Saat ini, kami posisinya sedang menunggu respon pemerintah menanggapi era digital ini pada supply chain yang sudah tidak konvensional seperti dulu. Sering sekali distributor memasokkan barang pada konsumen akhir,” jelas Vitri dalam Pelatihan Hukumonline 2019 “Membedah Aspek Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perjanjian Distribusi”, Senin (1/4) di Jakarta.

Tags:

Berita Terkait