Tangani Kasus Perempuan Sebagai Korban? Advokat Perlu Perspektif Ini
Berita

Tangani Kasus Perempuan Sebagai Korban? Advokat Perlu Perspektif Ini

Corporate law firm perlu menyiapkan infrastruktur dan memperkuat perspektif.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Acara diskusi tentang peran perempuan dalam pemberian pro bono. Foto: HOL
Acara diskusi tentang peran perempuan dalam pemberian pro bono. Foto: HOL

Diskusi “Peran dan Pemberdayaan Perempuan dalam Meningkatkan Kultur Pro Bono” yang diselenggarakan hukumonline, Senin (1/4) menjadi ajang berbagi pengalaman dan menaruh harapan bagi advokat. Para peserta memberikan sejumlah masukan tentang kerja bantuan hukum pro bono, masalah yang dihadapi, dan perlunya perspektif dalam kasus perempuan sebagai korban.

 

Advokat publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Pratiwi Febry, bercerita tentang karakteristik penanganan sejumlah tindak pidana seperti kekerasan seksual dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menempatkan perempuan dan anak sebagai korban. Menurut dia, tidak mudah menangani korban kekerasan seksual yang menimpa seorang perempuan. Selain aspek hukum yang perlu diperjuangkan melalui mekanisme peradilan, advokat pendamping juga harus perspektif gender dan perspektif korban.

 

“Apakah mereka (advokat) memikirkan bagaimana soal pemulihan trauma perempuan (korban)? Apakah korban nyaman ditangani oleh lawyer laki-laki? Itu kan bukan cuma bicara perspektif gender saja tapi juga sensitif korban,” ujar aktivis yang kerap disapa Tiwi ini ketika berbincang dengan hukumonline, sesaat setelah diskusi berlangsung.

 

(Baca juga: Alami Kekerasan dan Pelecahan? Kini, akan Ada Aplikasi ‘Penolongnya’)

 

Menurut Tiwi, isu pengarusutamaan perspektif korban dan gender harus menjadi perhatian ketika advokat pendamping menangani seorang perempuan yang menjadi korban tindak pidana KDRT dan kekerasan seksual. Misalnya, bagaimana perempuan yang menjadi korban membangun segenap keberanian untuk melaporkan peristiwa yang menimpa dirinya.

 

Tiwi bercerita, dalam penanganan kasus kekerasan seksual, aparat tidak jarang menggunakan gestur dan bahasa yang cenderung ‘seksis’ terhadap korban perempuan guna memperoleh informasi. Misalnya, saat melakukan pemeriksaan, penyidik mengajukan pertanyaan: Anda berpakaian apa saat terjadi kasus kekerasan? Pertanyaan semacam ini, kata Tiwi, harusnya dikritisi langsung oleh advokat pendamping.

 

Dalam kasus KDRT, Tiwi melihat adanya pola-pola yang harus dipahami seorang advokat. Tujuannya agar dapat memberikan advice yang tidak hanya tepat tapi juga holistik sehingga dapat memenuhi rasa keadilan terhadap korban atau rumah tangga yang dijalani. Setelah melalui fase pemilihan secara fisik dan psikis, korban memutuskan tidak malanjutkan kasus yang menimpa dirinya. Hal ini bisa terjadi karena pandangan dari korban perempuan terkait nasib rumah tangga dan juga anaknya apabila suaminya sampai dipenjara akibat KDRT.

 

Lebih jauh lagi, Tiwi mendorong pemahamaan atas perspektif korban atau gender di kalangan aparat penegak hokum: advokat, polisi, jaksa, hingga hakim. Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, Tiwi berharap Kejaksaan Agung dan Kepolisian juga membuat aturan sektoral dalam penanganan kasus yang berhubungan dengan perempuan.

Tags:

Berita Terkait