Pemilu Makin Dekat, Ingat Kasus OTT Serangan Fajar
Berita

Pemilu Makin Dekat, Ingat Kasus OTT Serangan Fajar

KPK terus menghitung jumlah riil uang yang ada dalam amplop. Tanpa jempol dikonfirmasi.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Bowo Sidik Pngarso di gedung KPK usai diperiksa. Foto: RES
Bowo Sidik Pngarso di gedung KPK usai diperiksa. Foto: RES

Pemilihan umum tinggal menghitung hari. Para calon anggota legislatif berusaha dengan beragam cara menarik suara pemilih. Tak cukup dengan iklan luar ruang, banyak kandidat mendatangi para pemilih. Bahkan mungkin membagi sembako atau bagi-bagi uang. Untuk yang terakhir ini, sebaiknya para kandidat berhati-hati. Ingatlah kasus OTT anggota DPR Bowo Sidik Pangarsoi.

 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya memberikan klarifikasi dan konfirmasi atas tanda jempol pada amplop yang berhasil disita dari kantor konsultan di kawasan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Tanda jempol pada amplop itu ditarik-tarik sebagai simbol salah satu pasangan kontestan pemilu 2019. KPK menegaskan amplop itu diduga akan dibagikan untuk kepentingan pemilihan anggota legislatif karena Bowo Sidik Pangarso akan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dari daerah pemilihan Jawa Tengah.

 

Bowo Sidik Pangarso, anggorta DPR dari Fraksi Partai Golkar telah ditetapkan sebagai tersangka. Dua tersangka lain adalah Indung, karyawan PT Inersia, dan jadi orang kepercayaan Bowo; dan Marketing Manager PT Humpuss Transportasi Kimia, Asty Winasti. Menurut Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, Bowo dan Indung akan dipersangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

Diduga sebagai pemberi suap, Asty Winasti, disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

 

KPK mengakui tindakan Bowo berkaitan dengan pemilu, yakni rencana menyebar uang kepada para pemilih, yang lazim diidentifikasi sebagai ‘serangan fajar’. Indikasinya, uang miliaran rupiah sudah dipecah ke dalam nominal 20 ribu dan 50 ribu, dan disebar ke dalam ratusan ribu amplop. ‘Serangan fajar’ dimaksudkan untuk ‘membeli’ suara pemilih agar pemilih mencoblos gambar Bowo di bilik suara. Cara tidak terhormat ini diyakini sudah berurat akar dalam perpolitikan di Indonesia, melalui berbagai modus.

 

(Baca juga: 66 Pidana Pemilu Sudah Berkekuatan Hukum Tetap)

 

Padahal memberikan uang kepada pemilih agar memilih calon tertentu atau tidak memilih calon lain adalah tindak pidana. Pasal 515 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengancam pidana 3 tahun penjara dan denda maksimal 36 juta rupiah ‘setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah’.

 

Meskipun ada larangan dalam UU Pemilu, KPK sesuai kewenangannya menetapkan kasus Bowo sebagai kasus tindak pidana korupsi. Komisi antirasuah menengarai duit yang telah disita berasal dari pemberian pihak lain. Dalam konteks inilah KPK menetapkan Asty Winasti sebagai tersangka pemberi suap. Bowo dapat saja berdalih temuan 400-an ribu amplop berisi uang dalam 84 kardus sebagai pidana pemilu, tetapi KPK menelusuri asal muasal uang tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait