DPR Klaim Aturan Pendidikan Komoditas Perdagangan Konstitusional
Berita

DPR Klaim Aturan Pendidikan Komoditas Perdagangan Konstitusional

Dua ahli pemohon mengkritisi aturan pendidikan sebagai komoditas perdagangan ini yang dinilai tidak tepat. Karenanya, disarankan aturan ini diubah karena dua lembaga PBB, ILO dan Unesco menegaskan pendidikan bukanlah komoditas untuk diperdagangkan.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materi Pasal 4 ayat (2) huruf d UU No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan terkait aturan pendidikan sebagai salah satu komoditas perdagangan. Permohonan ini diajukan Reza Aldo Agusta, seorang mahasiswa semester 4 Unika Atmajaya Yogyakarta. Agenda sidang kali ini, mendengarkan keterangan DPR dan ahli dari pemohon.

 

Dalam permohonannya, Pemohon merasa telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat penerapan pasal tersebut yang menyebabkan semakin meningkatnya biaya pendidikan. Sebab, dalam pasal itu jasa pendidikan dijadikan komoditas perdagangan yang dinilai melanggar konstitusi.  

 

Bagi Pemohon, dengan adanya pasal itu, pendidikan bukan lagi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, melainkan berorientasi pada keuntungan (profit oriented). Menurut pemohon, aturan ini tidak sesuai dengan bunyi Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai salah satu tujuan penyelenggaraan pendidikan sekaligus tujuan negara.  

 

Selengkapnya bunyi Pasal 4 ayat (2) huruf d, “(2) Selain lingkup pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diatur jasa yang dapat diperdagangkan meliputi: d. Jasa Pendidikan.”

 

Dalam keterangannya, DPR berpendapat tidak ada persoalan konstitusionalitas dalam norma pasal yang dimohonkan pengujian yang mengatur pendidikan sebagai komoditas perdagangan. “Yang diuji Pemohon menyangkut tentang penerapan norma, bukan masalah konstitusionalitas norma,” kata Anggota Komisi III DPR Anwar Rachman di ruang sidang MK, Senin (8/4/2019).

 

Anwar menegaskan hakikat pendidikan Indonesia tetap tidak berorientasi mencari untung. Misalnya, jika pihak swasta hendak mendirikan lembaga pendidikan, maka bentuknya yayasan yang bersifat nirlaba dan tidak mencari untung. Dia mengakui pasal yang diujikan menyatakan pendidikan sebagai komoditas perdagangan. Namun, aturan tersebut tidak berdiri sendiri dan tetap mengacu pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

 

“Jadi, saya tegaskan tidak ada pertentangan antar dua aturan tersebut. Keduanya, saling melengkapi,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait