Sikap PPKHI dalam Pusaran Permenristekdikti
Tentang PPKHI

Sikap PPKHI dalam Pusaran Permenristekdikti

Kebijakan Permenrisdikti terkait Program Profesi Advokat menuai beragam respons. Salah satunya, datang dari Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia (PPKHI).

Oleh:
CT-CAT
Bacaan 2 Menit
Sikap PPKHI dalam Pusaran Permenristekdikti
Hukumonline

Pada 22 Januari 2019, Mohamad Nasir selaku Menristekdikti mengesahkan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 5 Tahun 2019. Berdasarkan pertimbangan pasal 14 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, peraturan ini mengatur Program Profesi Advokat—salah satunya menyatakan pendidikan advokat sebagai program profesi yang mesti ditempuh selama satu hingga tiga tahun akademik. Dalam durasi tersebut, calon advokat harus memenuhi minimal 24 Satuan Kredit Semester (SKS), dengan kewajiban Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) minimal 3,00.

 

Adapun beberapa kriteria akademis tersebut juga mendukung pasal 2; manakala program profesi advokat dapat diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Setidaknya, ada tiga syarat untuk menggelar program tersebut, di antaranya (1) perguruan tinggi telah memiliki program studi sarjana untuk ilmu hukum, (2) akreditasi minimal B, dan (3) bekerja sama dengan organisasi advokat.

 

Beda Wewenang

Kendati memiliki dasar, banyak pihak menilai disahkannya peraturan tersebut berpotensi mengakibatkan simpang siur dan pengalihan wewenang. Terlebih, peraturan tersebut bertentangan dengan regulasi sebelumnya, yakni pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

 

Berdasarkan pasal tersebut, jelas bahwa yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi hukum, sudah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), ujian, dan pengangkatan yang dilaksanakan oleh organisasi advokat. Ini artinya, peraturan tersebut telah mengesampingkan peran organisasi advokat untuk menggelar PKPA dan mengangkat advokat.

 

Dheky Wijaya, Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Pengacara dan Konsultan Hukum Indonesia menilai, imbas kebijakan Permenrisdikti terhadap calon advokat sebagai sesuatu yang kontroversial. Terdapat hubungan yang saling ‘menyandera’, sebab ada kewajiban PKPA harus menggandeng perguruan tinggi dengan fakultas hukum terakreditasi B. “Kebijakan Menrisdikti menaungi universitas yang tentu harus diikuti semua fakultas hukum menjadi hal yang melampaui batas kewenangan,” ujar dia.

 

Dheky melanjutkan, melalui Permenrisdikti—ada pengalihan wewenang bagi pihak kampus untuk melantik advokat. Padahal, peraturan tersebut juga mengamini bahwa sertifikat profesi hanya dapat diterbitkan oleh organisasi advokat. Kekhawatiran lain, disahkannya peraturan ini juga dapat memicu kerja sama sepihak antara beberapa fakultas hukum dengan organisasi pilihan yang dianggap menguntungkan.

 

Pada saat yang sama, kemunculan peraturan ini juga bertentangan dengan konstitusi. Setidaknya, terdapat dua putusan Mahkamah Konstitusi yang menguatkan Undang-undang Advokat, di antaranya Nomor 103/PUU-XI/2013 dan 95/PUU-XIV/2016 terkait uji materi UU 18/2003. Jadi, berdasarkan regulasi yang telah ditetapkan, advokat merupakan profesi mandiri yang diberi kewenangan untuk mengatur dirinya sendiri.

Tags:

Berita Terkait