Memilih Kucing yang Keluar Karung
Tajuk

Memilih Kucing yang Keluar Karung

Pemilu yang demokratis ini lebih jelas, karena kita memilih orang, sehingga jelas landasan-landasannya yang dapat digunakan untuk memilih.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Memilih Kucing yang Keluar Karung
Hukumonline

Ketika Pemilu 1955 berlangsung, yang menurut sejarah sangat demokratis dan penuh dinamika negara yang baru merdeka, saya masih balita yang mulai bisa bicara. Pemilu pertama tahun 1971, saya masih duduk di SMA, dan sudah bisa memilih. Menurut Nenek saya, kakek adalah pamongpraja yang semasa hidupnya menjadi simpatisan salah satu partai Islam moderat. Karena mirip singkatannya dengan organisasi olah raga yang saya puja waktu itu, saya memilih partai itu, tanpa paham siapa mereka dan apa garis kebijakan politiknya.

 

Informasi masih sangat terbatas, koran mahal, dan kondisi sosial, ekonomi dan politik masih kacau dalam masa transisi Orde Lama ke Orde Baru. Pemilu legislatif selanjutnya selama masa Orde Baru di tahun-tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 pada dasarnya hanya lelucon besar, karena hasilnya bisa diterka mudah, dan sebagai lawyer muda yang mulai paham politik, saya menolak ikut serta sebagai protes dengan menjadi golput.

 

Gairah partisipasi dalam kegiatan politik yang demokratis muncul di kalangan pemuda, mahasiswa, profesional dan masyarakat luas mulai pemilu 1999. Sejak itu sampai sekarang saya tidak lagi menjadi golput. Memilih mereka yang punya visi baik untuk bangsa, atau setidaknya memilih, karena keterbatasan calon baik, mereka yang dianggap paling tidak mengancam kehidupan dan kemajuan berbangsa ke depan di segala bidang. Pemilu yang demokratis ini lebih jelas, karena kita memilih orang, sehingga jelas landasan-landasannya yang dapat digunakan untuk memilih.

 

Landasan pertama, kita bisa lebih menilai orang dibandingkan dengan parpol sebagai institusi politik, karena kita secara sadar bisa memahami karakter pribadi termasuk integritas, kestabilan emosi, pendidikan, lingkungan dan pengaruh keluarga, lingkungan sosial, akademi dan pergaulan politik, serta yang lebih penting rekam jejak orang tersebut sebelumnya, baik sebagai pemimpin atau warga negara biasa.

 

Landasan kedua, dengan keterbatasan yang ada tentu kita juga bisa menilai para parpol pengusungnya, termasuk dasar ideologisnya yang riil (karena semua mengaku pancasilais sejati), integritas parpol dan para pemimpinnya, rekam jejak mereka dalam bidang sosial dan politik dan kehidupan lainnya, posisi politik mereka terhadap berbagai isu besar dan sensitif, dan bagaimana hubungan mereka (loyalitas dan kesepahaman politis) baik dengan calon yang diusungnya maupun dan dengan parpol sesama pendukung.

 

Landasan ketiga, yang penting tetapi jarang ditepati, adalah bagaimana calon ini menyusun program-programnya, dan tidak cukup dengan itu, bagaimana secara masuk akal ia, bersama dengan para parpol pendukungnya, mampu mewujudkan program tersebut dengan melihat kondisi Indonesia saat ini di tengah kancah dunia yang selalu bergolak.

 

Dalam pemilu pertama sampai dengan pemilu 1997, bahkan pemilu-pemilu 10 tahun sesudahnya, landasan-landasan tersebut mungkin kurang diperhatikan, atau kita kekurangan informasi pendukung atau informasi yang bisa menjadi alat verifikasi, guna memastikan kelengkapan dan akurasi dari informasi yang kita inginkan.

Tags:

Berita Terkait