Pelajaran dari Kemenangan Indonesia atas  Gugatan Arbitrase IMFA
Berita

Pelajaran dari Kemenangan Indonesia atas  Gugatan Arbitrase IMFA

Masalah batas wilayah dan penertiban izin pertambangan harus dituntaskan.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Permanent Court of Arbitration (PCA) di Den Haag, Belanda, menjatuhkan putusan arbitrase yang memenangkan Indonesia atas gugatan perusahaan asing Indian Metal Ferro & Alloys Limited (IMFA). Proses perkara yang dimulai sejak pengajuan gugatan IMFA pada 24 Juli 2015 hingga keluarnya putusan arbitrase 29 Maret 2019 lalu itu menjadi catatan penting bagi upaya melindungi kepentingan nasional berdasarkan hukum di forum penyelesaian sengketa internasional. Poin pentingnya, penataan izin usaha pertambangan menjadi sorotan.

 

Pihak kuasa hukum berhasil membuktikan kerugian akibat tumpang tindih wilayah tersebut bukan kesalahan pemerintah Indonesia. Tribunal PCA berpendapat bahwa seharusnya IMFA melakukan due diligence sebelum melakukan investasi melalui PT SRI. Pemerintah Indonesia lepas dari tanggung jawab atas kelalaian IMFA dalam berinvestasi. Kerugian yang diajukan dalam gugatan IMFA dinilai sebagai tanggung jawab IMFA karena tidak berhati-hati dalam berinvestasi.

 

Kemenangan ini membuat tuntutan ganti rugi AS$469 juta atau setara Rp6,68 triliun gugur. IMFA dihukum untuk mengembalikan biaya yang dikeluarkan Indonesia selama proses arbitrase sebesar AS$2,975,017 dan GBP361,247.23. Meskipun demikian, Indonesia perlu lebih serius lagi menata mekanime penerbitan izin usaha pertambangan sekaligus menyelesaikan semua masalah batas wilayah lahan di seluruh Indonesia.

 

Dilansir dari siaran pers yang diterima hukumonline.com melalui pihak kuasa hukum Indonesia, Teddy Anggoro dan Acep Sugiana dari FAMS & P Lawyers, mengatakan, inti persoalan dalam gugatan IMFA adalah soal tumpang tindih pemberian izin (overlapping licenses) pertambangan dari pemerintah Indonesia kepada perusahaan-perusahaan tambang. Perkara ini berawal dari akuisisi 70 persen saham perusahaan tambang Indonesia PT SRI oleh anak perusahaan IMFA. Akuisisi yang terjadi pada 7 Juni 2010 ini memberikan janji pada IMFA atas Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) milik PT SRI yang telah diperoleh dari Bupati Barito Timur, Kalimantan Tengah. Tercatat izin tersebut diterbitkan 31 Desember 2009.

 

Belakangan, PT SRI merasa baru mengetahui bahwa wilayah dari IUP yang dimilikinya tumpang tindih dengan tujuh perusahaan tambang lainnya. Tumpang tindih wilayah ini meliputi wilayah dari tiga Kabupaten lainnya di provinsi yang sama serta wilayah lintas provinsi dengan Kalimantan Selatan. Berdasarkan informasi yang baru diketahuinya pada April 2011 tersebut, PT SRI mengajukan gugatan arbitrase internasional atas nama IMFA ke PCA. Forum PCA dipilih dengan dalih perjanjian Bilateral Investment Treaty yang pernah dibuat antara Indonesia dengan India di tahun 1999. Masalah tumpang tindih wilayah dalam IUP OP yang diterbitkan pemerintah dianggap IMFA melanggar Bilateral Investment Treaty.

 

Baca:

 

Bermasalah sejak awal

Putusan arbitrase berhasil dimenangkan pihak Indonesia dengan meyakinkan bahwa masalah tumpang tindih wilayah IUP telah diketahui PT SRI jauh sebelum diakuisisi IMFA. Penelusuran berbagai dokumen kunci yang ditemukan kuasa hukum Indonesia menunjukkan PT SRI telah mengetahui masalah tumpang tindih wilayah IUP sejak pertama kali melakukan eksplorasi umum di tahun 2005. Persoalan penetapan batas definitif secara administratif memang telah terjadi namun izin pertambangan PT SRI tetap dapat diterbitkan. Bahkan, pihak kuasa hukum Indonesia menemukan data sejumlah syarat yang tidak dipenuhi PT SRI untuk mendapatkan izin pertambangan tersebut.

Tags:

Berita Terkait