9 Agenda HAM Penting Usai Pemilu
Utama

9 Agenda HAM Penting Usai Pemilu

Antara lain perlindungan bagi aktivis HAM; kebebasan berpikir dan berkeyakinan; menyelesaikan pertanggungjawaban pelanggaran HAM berat; akuntabilitas untuk pelanggaran HAM di sektor bisnis kelapa sawit.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Penyelesaian kasus HAM masa lalu bisa dimulai dari daerah. Foto: SGP
Penyelesaian kasus HAM masa lalu bisa dimulai dari daerah. Foto: SGP

Hari pemungutan suara dalam Pemilu Serentak 2019 semakin dekat. Pesta demokrasi lima tahunan ini sangat dinanti seluruh peserta pemilu dan masyarakat karena menentukan siapa calon presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif terpilih untuk periode 2019-2024. Setelah terpilih, banyak pekerjaan rumah menanti untuk segera dikerjakan, salah satunya di bidang HAM.

 

Peneliti Amnesty International, Papang Hidayat, mencatat sedikitnya ada 9 agenda HAM yang penting untuk dikerjakan pemerintah dan parlemen hasil Pemilu 2019. Pertama, menjunjung tinggi hak atas kebebasan berekspresi dan melindungi pembela HAM. Papang mengatakan dalam 5 tahun terakhir Amnesty International mencatat ada pemidanaan yang bermasalah dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik, penistaan agama, dan makar. Pemidanaan ini berujung pada penahanan karena mereka menyampaikan pendapat atau aspirasi politiknya secara damai.

 

Papang mengingatkan Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik (sipol) melalui UU No.12 Tahun 2005. Kovenan itu mengatur orang yang menghina konsep abstrak seperti agama tidak boleh di bawa ke ranah pidana, tapi perdata. Soal perlindungan bagi pembela HAM, Papang menyoroti kasus yang menimpa Novel Baswedan dan beberapa aktivis lingkungan seperti Budi Budiawan alias Budi Pego.

 

Kedua, menghormati dan melindungi hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, beragama, dan berkepercayaan. Amnesty International mencatat kelompok minoritas agama seperti Syiah, Ahmadiyah, Kristen, dan komunitas lain kerap menghadapi pelecehan, intimidasi, dan serangan. Ada dari mereka yang harus mengungsi di tempat penampungan sampai puluhan tahun seperti komunitas Syiah di Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka tidak diizinkan kembali ke kampung halaman, kecuali pindah ke agama mayoritas.

 

Ada pula penutupan dan pengambilalihan tempat ibadah oleh otoritas setempat. Bahkan dalam beberapa kasus Amnesty International menemukan fakta pemerintah daerah menolak membuka kembali atau menerbitkan kembali izin bangunan sekalipun ada putusan pengadilan yang menguatkan posisi hukum jemaat yang terkena dampak. Misalnya kasus Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin di Bogor, dan Gereja HKBP Filadelfia di Bekasi.

 

“Calon presiden dan wakil presiden serta calon legislatif terpilih harus menyelesaikan berbagai persoalan ini,” kata Papang dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (15/4/2019). Baca Juga: Kasus Robertus Robet Dinilai Ancaman bagi Kebebasan Sipil di Masa Reformasi

 

Ketiga, memastikan akuntabilitas atas pelanggaran HAM oleh aparat keamanan. Amnesty International menerima laporan tentang pelanggaran HAM yang serius oleh polisi dan militer. Termasuk pembunuhan di luar hukum, penggunaan kekuatan yang tidak perlu, atau berlebihan, serta penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, serta tidak manusiawi selama penahanan, interogasi dan penahanan. Selama ini korban tidak memiliki akses keadilan dan reparasi. Papang menekankan salah satu perbaikan yang harus dilakukan yakni merevisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Tags:

Berita Terkait