Menyoroti Ragam Pelanggaran Hukum Tambang Batubara di Film “Sexy Killers”
Berita

Menyoroti Ragam Pelanggaran Hukum Tambang Batubara di Film “Sexy Killers”

Pelanggaran hukum dari soal mengabaikan kewajiban reklamasi tambang hingga perusakan lingkungan dilakukan perusahaan tambang. Warga sekitar tambang menjadi korban paling menderita dari pelanggaran ini.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: BAS
Ilustrator: BAS

Film dokumenter berjudul “Sexy Killers” karya Dandy Laksono yang saat ini ramai jadi perbincangan media sosial semakin menyadarkan masyarakat terhadap buruknya dampak tambang batubara di beberapa wilayah Indonesia. Film berdurasi sekitar 90 menit tersebut menceritakan penderitaan warga akibat kegiatan penambangan batubara. Mulai dari hilangnya lahan pertanian, kriminalisasi, pencemaran lingkungan hingga hilangnya nyawa karena tenggelam dalam lubang galian bekas tambang.

 

Ragamnya persoalan tersebut tidak lepas dari lemahnya pengawasan pemerintah dan kegiatan pertambangan batubara yang masih tidak sesuai dengan peraturan. Pengamat Hukum Pertambangan Universitas Tarumanegara, Ahmad Redi menyatakan film tersebut merupakan cerminan riil dari kondisi pertambangan batubara di Indonesia. Dia menjelaskan terdapat praktik perusahaan-perusahaan tambang beroperasi tidak sesuai dengan peraturan.

 

“Film ini (Sexy Killers) sangat riil terjadi. Saya kira itu sangat bagus sekali untuk menyadarkan kita bahwa batubara itu jadi petaka bukan karunia,” kata Redi kepada Hukumonline, Selasa (18/4).

 

Redi mencontohkan kewajiban reklamasi yang masih diabaikan perusahaan tambang sehingga meninggalkan lubang bekas galian tambang. Padahal, berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang, perusahaan tambang wajib melakukan reklamasi lahan bekas tambang.

 

(Baca: Reformasi Regulasi Sektor Energi Harus Jadi Prioritas)

 

Persoalan reklamasi ini merupakan masalah klasik dalam pertambangan. Meski sudah terdapat pengaturan secara ketat dengan terbitnya PP 78/2010 ternyata implementasinya tidak berjalan sesuai dengan ketentuan. Redi menjelaskan persoalan ini berhubungan dengan uang jaminan reklamasi yang disetorkan perusahaan tambang kepada pemerintah daerah.

 

Menurutnya, perusahaan tambang merasa sudah bertanggung jawab melakukan reklamasi dengan pemberian uang jaminan tersebut. Padahal, dalam PP 78/2010 menyatakan uang jaminan tersebut berbeda dengan pelaksanaan reklamasi sehingga dapat dikembalikan kepada perusahaan apabila operasi tambang dan kegiatan pascatambang telah berakhir.

 

Jaminan tersebut berupa rekening bersama pada bank pemerintah, deposito berjangka pada bank pemerintah, bank garansi pada bank pemerintah atau bank swasta nasional atau cadangan akuntansi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait