Benarkah Pailit Harta Pribadi Berpengaruh pada Nikah dan Cerai? Begini Penjelasan Hukumnya
Utama

Benarkah Pailit Harta Pribadi Berpengaruh pada Nikah dan Cerai? Begini Penjelasan Hukumnya

Berkaitan dengan ada tidaknya perjanjian pemisahan harta.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi perkawinan. Ada hubungan status pailit dengan rencana perkawinan. Foto: Istimewa
Ilustrasi perkawinan. Ada hubungan status pailit dengan rencana perkawinan. Foto: Istimewa

Pailit dapat terjadi pada suatu badan hukum atau seseorang. Jika pailit menimpa suatu perusahaan berbadan hukum, pertanggungjawaban atas penyitaan asetnya tak menyentuh harta pribadi. Berbeda halnya jika pailit harta pribadi. Dalam kasus terakhir ini dapat saja  menyeret harta kekayaan yang dimiliki pasangan (suami/istri).

Pertanyaannya, dapatkah pernyataan pailit terhadap debitor mempengaruhi rencana pernikahan dan perceraian seorang debitor? Apakah pengaruh tersebut melekat sebatas pada pribadi debitor pailit atau lebih? Bagaimana UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan) dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengaturnya?

Kurator Balai Harta Peninggalan (BHP), Dulyono, berpendapat bahwa pernikahan dapat dilakukan pasca pernyataan pailit menimpa debitor. Yang terlarang adalah menikah atau melakukan perbuatan apapun dengan menggunakan boedel pailit. Jika debitor bercerai setelah dinyatakan pailit, maka harta suami/istrinya bisa masuk ke dalam boedel pailit sepanjang tidak ada perjanjian pemisahan harta suami/istri sebelum pernyataan pailit.

“Kalau pada saat dia menikah sudah bawa harta, dan ada pemisahan harta itu tidak bisa diambil, kecuali harta bersama. Kalau harta bersama, dalam kepailitan perorangan itu jika suami kena maka harta istri juga kena. Kecuali ada pemisahan harta,” jelasnya kepada hukumonline.

Guna  menghindari masuknya harta bawaan istri/suami secara berbarengan sebagi objek pailit, sebaiknya pemisahan harta dilakukan sebelum perkawinan berlangsung. Misalnya, Dulyono memberi contoh, istri bekerja tapi penghasilannya tak terikat dalam perjanjian pemisahan harta. Dalam kondisi demikia, penghasilan istri masuk sebagai harta bersama. “Di situ harta istri bisa kenajadi objek pailit. Tapi tergantung nanti bagaimana perlawanan sang istri. Pasti ada perlawanan untuk kasus seperti itu,” terangnya.

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Mustolih Siradj menjelaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tak ada larangan secara eksplisit bagi calon mempelai yang berstatus sebagai debitor pailit (muflis/orang yang tak punya harta) untuk menikah. Begitu pula dengan larangan, kebatalan dan pencegahan perkawinan bagi debitor pailit tak dikenal dalam hukum perkawinan Islam.

Dalam Pasal 14-44 Kompilasi Hukum Islam (KHI), tak ada satu pun pasal yang mangatur bahwa status debitor pailit dapat menghalangi seseorang melakukan perkawinan. Ketiadaan larangan itu, kata Mustolih, adalah sesuatu yang wajar mengingat dimensi debitor pailit adalah kondisi seseorang telah kehilangan harta akibat hukum dari proses kepailitan, yang  membuat seseorang kehilangan hak mengurus harta yang selama ini dikuasai. Sementara,  perkawinan bertumpu pada kasih sayang dua manusia yang terikat dalam tali suci yang kuat (mitsaqon ghalidza) dan tidak semata didasarkan pada persoalan kepemilikan, penguasaan dan pengurusan harta.

Tags:

Berita Terkait