Dua Hal Hukum Ketenagakerjaan yang Belum Berjalan Optimal
Berita

Dua Hal Hukum Ketenagakerjaan yang Belum Berjalan Optimal

Sistem pengawasan belum berjalan optimal, sehingga tidak ada penegakan hukum dan kekuatan serikat buruh secara umum mengalami penurunan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Ada beberapa peraturan yang mengatur bidang ketenagakerjaan, salah satunya UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sekjen Federasi Serikat Buruh Kerakyatan (Serbuk) Indonesia, Khamid Istakhori menilai peraturan tentang perburuhan di Indonesia sudah tergolong bagus. Hukum ketenagakerjaan yang ada di Indonesia hampir mengatur seluruh aspek di sektor ketenagkaerjaan. Misalnya, Pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur cuti haid bagi buruh perempuan. Padahal di negara lain belum tentu ada aturan serupa.

 

Secara umum, bagi Khamid, peraturan ketenagakerjaan yang ada, masih memposisikan buruh berhadapan langsung dengan pengusaha. Belum lagi, pemerintah kerap absen memberi perlindungan bagi buruh dan berdalih hanya sebagai wasit dan tidak berpihak. Menurut Khamid ini menandakan pemerintah tidak berpihak kepada buruh.

 

Meski demikian, Khamid melihat ada persoalan besar hukum ketenagakerjaan di Indonesia yang sulit dilaksanakan. Khamid mencatat sedikitnya ada dua hal yang menyebabkan peraturan ketenagakerjaan di Indonesia belum berjalan baik. Pertama, sistem pengawasan belum berjalan optimal, sehingga tidak ada penegakan hukum. Kedua, kekuatan serikat buruh secara umum mengalami penurunan.

 

Soal pengawasan, Khamid mencatat Menteri Ketenagakerjaan selalu beralasan jumlah petugas pengawas kurang, hanya ada sekitar 2.500 orang. Ini tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang harus diawasi totalnya lebih dari 3 juta perusahaan. “Peraturan ketenagakerjaan di Indonesia bagus di atas kertas, tapi sulit dilaksanakan,” kata Khamid dalam acara bedah buku di Jakarta, Senin (22/4/2019). Baca Juga: Merumuskan Peta Jalan Ketenagakerjaan untuk Peningkatan Data Saing

 

Khamid mengatakan sejak 2006 kalangan serikat buruh telah menawarkan draft RUU Perlindungan Buruh. Sayangnya, tawaran itu tidak mendapat sambutan baik dari pemerintah dan DPR. Khamid juga tidak yakin pemerintah dan anggota DPR hasil Pemilu 2019 ini akan memperbaiki kehidupan buruh secara signifikan. Karenanya pilihan tepat bagi kalangan buruh saat ini yakni mengorganisasi diri dan berserikat untuk membuat perubahan.

 

Dalam banyak kasus, Khamid melihat buruh yang mampu melakukan mogok kerja secara efektif, kampanye internasional, dan solid, mampu memberi tekanan dan meraih keberhasilan. Soal revisi UU Ketenagakerjaan, Khamid berpendapat tahun 2015 Presiden Joko Widodo berhasil mengubah ketentuan tentang kenaikan upah minimum tanpa merevisi UU Ketenagakerjaan. Pemerintah melakukan itu dengan menerbitkan PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

 

Menurut Khamid, revisi UU Ketenagakerjaan akan menimbulkan gejolak di kalangan buruh. Seperti diketahui, banyak pasal UU Ketenagakerjaan yang sudah dianulir MK. Tapi revisi UU Ketenagakerjaan menurut Khamid tidak akan memberi solusi terbaik bagi buruh. Baginya harus ada UU baru yang menggantikan UU Ketenagakerjaan.

Tags:

Berita Terkait