Pentingnya Kehadiran Women Peacekeeper di Negara Pascakonflik
Berita

Pentingnya Kehadiran Women Peacekeeper di Negara Pascakonflik

​​​​​​​Dapat menjadi role model bagi perempuan di daerah konflik bahwa sesungguhnya mereka juga bisa berbuat lebih banyak.

Oleh:
Moch Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Peneliti CSIS Fitriani (kedua kanan). Foto: DAN
Peneliti CSIS Fitriani (kedua kanan). Foto: DAN

Situasi sebuah negara pasca terjadinya konflik baik sipil apalagi militer sangat memprihatinkan. Salah satu yang bisa disebutkan adalah ketiadaannya hukum positif nasional yang berlaku di negara tersebut. Hal ini dikarenakan institusi hukum dan juga pemerintahan yang tidak bisa berjalan secara normal. Dalam situasi ini, biasanya peran lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diperlukan untuk hadir.

 

Dalam menangani problem seperti ini, Dewan Keamanan PBB bersama pasukan penjaga perdamaian kerap hadir ke negara-negara yang sedang berkonflik tersebut. Di mana salah satu tugasnya adalah memberikan perlindungan terhadap warga sipil di negara tempat konflik berlangsung. “Dalam situasi ini, kehadiran women peacekeeping and security dibutuhkan,” ujar peneliti Central for Strategic and International Studies (CSIS), Fitriani, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (23/4).

 

Menurut Fitriani, proses pemulihan terhadap korban sipil di sebuah negara pascakonflik sangat membutuhkan peran seorang tentara perempuan dalam misi menjaga perdamaian. Karena warga sipil yang biasanya membutuhkan penanganan khusus di wilayah bekas pemukiman di negara yang sedang ataupun baru selesai terjadi konflik adalah perempuan, dan tentu saja anak-anak. Faktor trauma yang ditinggalkan oleh konflik seringkali lebih dalam dirasakan oleh perempuan dan anak-anak di daerah bekas konflik.

 

Proses penerimaan perempuan korban konflik dirasakan lebih mudah kepada tentara penjaga perdamaian yang juga sesama perempuan karena beberapa faktor. Selain mereka merasa akan jauh lebih aman berhadapan dengan sesama perempuan, faktor trauma akan konflik juga tidak terlalu menjadi hambatan saat berhadapan dengan tentara perempuan. “Karena bayangan mereka kalau laki-laki (dalam situasi negara yang sedang berkonflik) adalah yang ikut berperang memegang senjata,” terang Fitri.

 

Direktur Kerjasama Internasional dan Perlucutan Senjata & Ditjen Kerjasama Multilateral, Kemeterian Luar Negeri, Grata Endah Werdaningtyas mengungkapkan, peran tentara perempuan dalam misi menjaga perdamaian tidak hanya menghubungkan pasukan penjaga perdamaian dengan komunitas lokal, tapi lebih dari itu dapat menjadi role model bagi perempuan di daerah konflik bahwa sesungguhnya mereka juga bisa berbuat lebih banyak.

 

“Dia melihat ada perempuan berseragam atau bahkan perempuan memimpin pasukan inikan role model, oh ternyata perempuan bisa,” ujar Grata kepada hukumonline.  

 

Baca:

Tags:

Berita Terkait