Perlindungan Konsumen di Jalur si Burung Besi
Hukum Perlindungan Konsumen:

Perlindungan Konsumen di Jalur si Burung Besi

Perhatian pada perlindungan konsumen pada bisnis penerbangan acapkali terdorong oleh kasus-kasus di lapangan.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
jejeran pesawat di salah satu bandara di Indonesia. Foto: MYS
jejeran pesawat di salah satu bandara di Indonesia. Foto: MYS

Dinamika hukum perlindungan konsumen di Indonesia banyak disumbang oleh jenis usaha penerbangan alias transportasi udara. Kepedulian para pemangku kepentingan lazimnya akan naik begitu muncul kasus hukum penerbangan. Ada kasus yang bahkan sampai mempengaruhi penerbitan kebijakan. Sebagai contoh kebijakan tentang delay (penundaan keberangkatan) pesawat.

Awalnya, jika maskapai menunda keberangkatan pesawat, penumpang hanya bisa menggerutu, kesal, atau menyampaikan uneg-unegnya lewat surat pembaca di media massa atau layanan pengaduan yang disediakan. Tetap setelah ada gugatan ke pengadilan gara-gara delay, Kementerian Perhubungan akhirnya menerbitkan peraturan tentang kompensasi atas keterlambatan atau penundaan keberangkatan pesawat.

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Sudaryatmo, mengakui kepedulian pemerintah dan masyarakat pada isu-isu perlindungan konsumen terkadang lahir dari kasus rill. Begitu ada gugatan ke pengadilan, biasanya konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah menaruh perhatian lebih. Kurangnya perhatian itu antara lain disebabkan tidak adanya unit di suatu lembaga yang mengurusi isu-isu perlindungan konsumen. Ia memberi contoh di Kementerian Kesehatan dan Kementerian Perhubungan. “Harusnya lintas sektor,” ujarnya saat diskusi mengenai klausula baku di Jakarta, Sabtu (20/4).

Konsekuensi dari keadaan demikian adalah munculnya kegamangan dan kelambanan menangani masalah yang timbul. Kenaikan tarif tiket pesawat, misalnya. Masalah ini menjadi salah satu perhatian Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dalam laporan triwulan pertama tahun 2019. Laporan itu dikeluarkan bersamaan dengan melambungnya tarif angkutan udara komersial yang tidak berbanding lurus dengan insentif kepada konsumen berupa perbaikan kualitas pelayanan. BPKN memprediksi kenaikan harga tiket pesawat berimplikasi pada masalah lain akibat lalu lintas penumpang yang terhambat. Pariwisata salah satu yang terkena imbas.

Dari sudut pandang konsumen, kenaikan harga tiket pesawat tentu merugikan. Sebenarnya, kalau mengenai tarif,  UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan mengatur adanya klasifikasi angkutan udara komersil yang dalam memberikan pelayanannya terhadap konsumen menggunakan basis biaya operasi rendah. Tentu saja dengan kesulitan yang dihadapi oleh konsumen saat mengakses angkutan penerbangan komersil yang bertarif rendah dapat menjadi indikasi kesalahan penerapan kebijakan.

BPKN mengindikasikan ada kesalahan pendekatan kebijakan. Konsumen harus dilindungi dalam persoalan tarif angkutan udara komersil ini. Atas dasar itu pula ada somasi terhadap Kementerian Perhubungan dalam persoalan kenaikan harga tiket pesawat. Somasi pada umumnya adalah langkah awal menuju upaya hukum gugatan ke pengadilan.

(Baca juga: Tarif Tiket Pesawat Mahal, Komunitas Konsumen Somasi Kemenhub).

Kebijakan Pemerintah

Hingga kini, Pemerintah tak berhasil ‘memaksa’ maskapai menurunkan harga tiket. Alih-alih turun, menjelang libur lebaran, potensi kenaikan harga tiket kembali terbuka. Koordinator Komisi Advokasi BPKN, Rizal E. Halim melihat ada masalahnya pada komitmen pemerintah. “Ada persoalan dengan komitmen pemerintah dalam mewujudkan hak-hak konsumen yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,” ujar Rizal dalam acara di kantor BPKN beberapa waktu lalu.

Tags:

Berita Terkait