Menyoroti Peran LAPSPI dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan
Berita

Menyoroti Peran LAPSPI dalam Penyelesaian Sengketa Perbankan

Penyelesaian sengketa yang murah dan cepat menjadi kelebihan LAPSPI. Sayangnya, masih ada pihak meragukan kekuatan hukumnya.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Tirta Segara. Foto: MJR
Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Tirta Segara. Foto: MJR

Perbankan merupakan salah satu industri jasa keuangan yang terus mengalami perkembangan. Terlebih lagi, kehadiran financial technology (fintech) menyebabkan industri ini semakin menjadi pilar utama sumber pembiayaan nasional. Di sisi lain, kondisi tersebut tentunya juga meningkatkan risiko sengketa atau dispute antara nasabah sebagai konsumen dengan bank. Sehingga, lembaga yang kredibel diperlukan sebagai tempat penyelesaian sengketa tersebut.

 

Selama empat tahun terakhir, industri perbankan telah memiliki lembaga penyelesaian sengketa tersebut yaitu Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI). Pembentukan ini merupakan salah satu amanat dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di Sektor Jasa Keuangan.

 

Meski baru terbentuk, pemanfaatan LAPSPI dalam penyelesaian sengketa terbilang memuaskan karena 90 persen kasus yang ditangani menemukan kesepakatan. Kemudian, murahnya biaya dan jangka waktu penyelesaian dibandingkan peradilan umum menyebabkan LAPSPI menjadi pilihan bagi para pihak bersengketa. Total permohonan sengketa perbankan mencapai 162 kasus sepanjang Januari 2016-Maret 2019.

 

Dari total pelaporan tersebut, sengketa karena kredit atau pinjaman menempati jumlah kasus terbanyak kemudian disusul permasalahan kartu kredit, dana pihak ketigaa dan e-banking. Sengketa kredit didominasi permasalahan restrukturisasi dan agunan kredit atau lelang agunan. Sedangkan, persoalan kartu kredit berkaitan dengan keringanan pembayaran tunggakan pokok atau bunga dan penyalahgunaan kartu kredit oleh pihak lain.

 

Ketua LAPSPI, Himawan Edhy Subiantoro menjelaskan kehadiran LAPSPI ini menjadi alternatif baru bagi nasabah dan bank dalam penyelesaian sengketa. Dia juga menjelaskan dalam penyelesaian sengketa ini juga dipimpin arbiter dan mediator yang memahami hukum perbankan. Selain itu, transaparansi biaya juga menjadi nilai tambah LAPSPI dalam menangani sengketa.

 

“Kami bikin survei kepada nasabah dan bank, ternyata dua pihak merasa nyaman dan percaya kepada LAPSPI. Kepercayaan ini karena mereka punya pembanding dengan litigasi di peradilan umum. Salah satu faktornya transparan karena semua biaya dijelaskan di depan dan para pihak dapat menunjuk arbiter sendiri sehingga jauh lebih independen,” jelas Himawan saat dijumpai di Jakarta, Senin (29/4).

 

(Baca: LAPSPI, Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan yang Efisien)

 

Kemudian, LAPSI juga lebih singkat proses penyelesaian sengketanya dibandingkan peradilan umum. Terdapat tiga cara penyelesaian sengketa yang ditempuh melalui LAPSPI yaitu mediasi, adjudikasi dan arbitrase. Kemudian, jangka waktu penyelesaian sengketa juga paling lama 6 bulan. Sedangkan, peradilan umum harus menempuh sekurangnya empat tahapan persidangan termasuk peninjauan kembali.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait