Kisruh Pendidikan Advokat, Jangan Sampai Hak Konsumen Terlupakan
Utama

Kisruh Pendidikan Advokat, Jangan Sampai Hak Konsumen Terlupakan

Layanan jasa profesi advokat termasuk bisnis. Hubungan advokat-klien pada dasarnya hubungan pelaku usaha dengan konsumen.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Diskusi mengenai Permen Ristek Dikti tentang profesi advokat yang diselenggarakan hukumonline bersama pemangku kepentingan pada 5 April lalu.  Foto: RES
Diskusi mengenai Permen Ristek Dikti tentang profesi advokat yang diselenggarakan hukumonline bersama pemangku kepentingan pada 5 April lalu. Foto: RES

Perdebatan tentang penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) sebagai program di bawah naungan universitas masih belum tuntas. Sejumlah penolakan bergulir dari kalangan advokat sejak isu ini mengemuka pada akhir Maret lalu.

Organisasi advokat sudah secara resmi mengajukan uji materi terhadap Peraturan Menteri Riset, Teknologi, Pendidikan Tinggi (Permenristek Dikti) No. 5 Tahun 2019 tentang Program Profesi Advokat ke Mahkamah Agung. Ada juga yang ingin menempuh upaya diplomasi dan dialog dengan pemerintah untuk membahas jalan keluar terbaik.

Di tengah adu argumentasi tentang bagaimana seharusnya calon advokat dipersiapkan, hak para pencari keadilan selaku konsumen jasa hukum advokat nampak perlu mendapat perhatian. Perhatian ini penting jika menggunakan perspektif bahwa klien dapat dikualifikasi sebagai konsumen yang mendapatkan jasa dari seorang advokat.

(Baca juga: Pemerintah Ubah Cara Rekrutmen Advokat, Sejalan atau Bertentangan UU Advokat?).

David M.L. Tobing, advokat yang dikenal sebagai ahli hukum perlindungan konsumen mengajak semua pihak berkepentingan untuk memperhatikan hak-hak konsumen dalam pelayanan barang dan jasa. David mengingatkan bahwa hubungan hukum antara advokat dengan klien pada dasarnya juga antara pelaku usaha jasa dengan konsumen. Rezim hukum perlindungan konsumen juga mengikat profesi advokat dalam memberikan jasanya kepada klien.

“Suatu jasa yang mau ditawarkan harus memenuhi standar kualitas, ini fatal kalau sampai terjadi ‘malpraktik’ dalam memberikan jasa hukum,” kata David kepada hukumonline.

Oleh karena itu, kisruh soal pendidikan advokat harusnya diarahkan pada standar kualitas yang dihasilkan. Persoalannya bukan pada siapa yang menyelenggarakan PKPA, berapa besar biayanya, atau berapa lama durasinya. Persoalannya justru bagaimana membangun kesamaan standar kualitas advokat yang dihasilkan melalui PKPA, dan ini harus menjadi perhatian serius.

“Sekarang ini dengan banyaknya organisasi advokat, penyelenggara PKPA, pemberi izin praktik, tidak bisa dicapai kesepakatan standar minimum apa yang harus dicapai,” David melanjutkan. Bahkan, perkembangan kualitas advokat bisa terhambat. Perlu ada kesepakatan soal satu standar kompetensi dan metode pengangkatan advokat sampai memiliki izin praktik jasa hukum.

Tags:

Berita Terkait