Alasan MK Tolak Uji Aturan Sertifikasi Badan Usaha Konstruksi
Berita

Alasan MK Tolak Uji Aturan Sertifikasi Badan Usaha Konstruksi

Karena dalil-dalil permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi Indonesia. Foto: SGP
Gedung Mahkamah Konstitusi Indonesia. Foto: SGP

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi sejumlah pasal dalam UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi terkait aturan sertifikasi badan usaha dan profesi jasa konstruksi. Permohonan ini diajukan oleh pengurus Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi (LPJKP) Aceh, Azhari A Gani.

 

“Menolak permohonan para pemohon berkenaan dengan Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 68 ayat (4), Pasal 70 ayat (4), Pasal 71 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 77, Pasal 84 ayat (2) dan Penjelasannya UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Dan, Pasal 84 ayat (5) tidak dapat diterima,” demikian bunyi amar putusan MK No. 70/PUU-XVI/2018 saat dibacakan pada Selasa (30/4/2019) seperti dikutip laman resmi MK.   

 

Sebelumnya, dalam permohonannya, Pemohon menilai berlakunya UU Jasa Konstruksi itu seolah mengancam keberadaan LPJK Aceh, yang merupakan salah satu anggota yang tergabung dalam Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Pusat (LPJKP) yang sudah eksis puluhan tahun mengembangkan jasa kontruksi yang ditunjang infrastruktur dan sumber daya yang lengkap. (Baca Juga: Konstitusionalitas Aturan Sertifikasi Jasa Konstruksi Dipersoalkan)

 

Seperti, Pasal 30 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) UU 2/2017, ada kewajiban proses registrasi dan sertifikasi setiap badan usaha jasa kontruksi melalui menteri (Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Menteri PUPR telah mengambil hak konstitusional para pemohon yang selama ini telah menyelenggarakan sertifikasi badan usaha jasa konstruksi secara profesional, transparan, dan akuntabel. Dalam UU Jasa Kontruksi itu terjadi sentralisasi dan birokratisasi penyelenggaraan registrasi dan sertifikasi badan usaha jasa konstruksi.

 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah mempertimbangkan kekhawatiran para Pemohon terhadap kewenangan menteri yang ditentukan dalam norma Pasal 70 ayat (4) dan Pasal 71 ayat (3) serta ayat (4) UU Jasa Konstruksi bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945, yang akan menghilangkan sub-urusan jasa konstruksi yang telah diberikan kepada daerah.

 

Namun, setelah membaca seksama pengaturan mengenai kewenangan gubernur dan kewenangan bupati atau walikota yang berkaitan dengan penyelenggaraan jasa konstruksi, Mahkamah berpendapat hal tersebut tidak relevan dipersoalkan. Sebab, UU Jasa Konstruksi sama sekali tidak menghilangkan kewenangan daerah mengatur dan mengurus sub-urusan jasa konstruksi sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

 

“Sebaliknya sebagaimana telah dipertimbangkan di atas, UU No. 2 Tahun 2017 justru memperkuat kewenangan daerah yang terkait penyelenggaraan jasa konstruksi. Karena itu, dalil para Pemohon yang mempertentangkan Pasal 70 ayat (4) dan Pasal 71 ayat (3) serta ayat (4) dengan Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5) UUD 1945 tidaklah beralasan menurut hukum,” demikian bunyi salah satu pertimbangan Mahkamah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait