Aturan Pemilu Serentak Diuji Ke MK
Banyaknya korban petugas penyelenggara pemilu yang meninggal hingga sakit akibat pemilu serentak membuat beberapa warga negara mendaftarkan uji materi kata “serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Sejumlah warga tersebut adalah Pemantau Pemilu Arjuna, Pemantau Pemilu Pena, Ketua Drikandi Pemantau Pemilu Mar’atul Mukminah, Ketua Luber Pemantau Pemilu M. Faesal Zuhri, Pengurus Srikandi Pemantau Pemilu Nurhadi, Staf Legal Sharon Clarins Herman, dan Mahasiswa Universitas Indonesia Ronaldo Henrich.
Kuasa Hukum para pemohon, Viktor Tandiasa mengatakan, penyelenggaraan pemilu serentak 2019 memakan banyak korban penyelenggara pemilu. Sehingga perlu diuji kembali karena penyelenggaraan serentak yang mengakibatkan banyak hak warga negara terlanggar.
“Artinya desain penyelenggaraan pemilu dengan lima kotak suara seperti yang diinginkan pembentuk UUD 1945, menjadi salah satu dasar MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 perlu diuji dan dipertimbangkan kembali konstitusionalitasnya dari sisi hak-hak konstitusional yang telah nyata-nyata terlanggar,” kata Viktor usai mendaftarakan permohonan, di Gedung MK, Jumat (10/05).
Ia menjelaskan meskipun dari sudut pandang original intent penyelenggaraan pemilu serentak dibenarkan, namun sudut pandang original intent atau penafsiran konstitusi lainnya bukanlah hal yang absolut untuk menentukan suatu norma konstitusional atau inkonstitusional.
Oleh karenanya esensi pengujian konstitusionalitas suatu UU, lanjut Viktor, tidak dapat dilepaskan dari fenomena masyarakat dan mempertimbangkan aspek filosofis dan sosiologis. “Hal ini sesungguhnya telah ditegaskan oleh Mahkamah melalui Putusan No. 30/PUU-XVI/2018,” ujarnya.
Sebab, kata dia, apabila pendirian Mahkamah diletakkan dalam kondisi sosial-politik dan fenomena masyarakat saat ini. Meskipun, mempunyai basis konstitusional namun basis konstitusional menjadi tidak hidup. “Sehingga tidak mampu menyerap kebutuhan masyarakat saat ini yang memisahkan kembali Pilpres dengan pemilu legislative atau konsep lainnya yang sesuai dengan kondisi zamannya,” tuturnya.
Bunyi Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu, menyatakan “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.” Bunyi Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu “Pemungutan Suara Pemilu diselenggarakan secara serentak”.
Baca:
- Advokat Ini Gugat Syarat Pemenangan Pilpres ke MK
- Ragam Implementasi dan Kepatuhan Putusan MK
- Belum Ada Pengaturan Pendataan DPK Luar Negeri, Bawaslu Beri Masukan
Viktor juga mengatakan secara filosofis penyelenggara pemilu seharusnya menjadi sarana rakyat untuk mewujudkan kedaulatannya yang muaranya agar tercapainya cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaktub di dalam pembukaan UUD 1945, bukan sebaliknya. Atas dasar inilah, menurut Viktor, penyelenggara pemilu bukan saja harus memenuhi asas-asas pemilu sebagaimana diatur didalam ketentuan Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 agar mendapatkan legitimasi pemilu dan pemerintahan yang dibentuk dari hasil pemilu.
“Namun di luar itu, penyelenggaraan pemilu seharusnya membawa kemaslahatan bagi seluruh rakyat, tidak boleh merugikan kepentingan rakyat, khususnya menyangkut hal yang paling fundamental yaitu keselamaan dan nyawa manuslia,” tandasnya.
Selain itu, ia menjelaskan kondisi sosial-politik dan fenomena masyarakat saat ini mengarah kepada tuntutan untuk mengevaluasi pelaksanaan pemilu serentak. Tuntutan ini didasari dari fakta-fakta empiris di antaranya ada total 558 Petugas Pemilu yang meninggal dunia, di antaranya 441 orang petugas KPPS, 92 orang petugas Panwaslu, 25 orang petugas Polisi dan ada 3.668 Petugas KPPS yang sakit akibat sistem penyelenggaraan pemilu serentak yang tidak manusiawi.
“Dan, biaya penyelenggaran pemilu serentak 2019 yang awalnya diduga akan lebih efisien dan menghemat uang negara, nyatanya membengkak sebesar 61 persen pada Pemilu Serentak 2019 yakni 25,59 triliun, dari anggaran Pemilu 2014 sebesar 15,79 triliun,” ungkapnya.
Viktor berpendapat pelaksanaan pemilu serentak sesungguhnya telah keluar dari aspek filosofis pemilu itu sendiri sebagai sarana mewujudkan daulat rakyat. Kemudian, berdasarkan aspek sosiologis, terdapat tuntutan untuk mengevaluasi dan memisahkan kembali pilpres dan pemilu anggota lembaga perwakilan, sebagai respon dari kondisi sosial politik dan fenomena masyaraat akibat pelaksanaan pemilu serentak. Atas dasar itu, ia berharap Mahkamah dapat menyatakan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Apabila Anda menggunakan Private Browsing dalam Firefox, "Tracking Protection" akan muncul pemberitahuan Adblock. Anda dapat menonaktifkan dengan klik “shield icon” pada address bar Anda.
Terima kasih atas dukungan Anda untuk membantu kami menjadikan hukum untuk semua