Aturan Pemilu Serentak Diuji Ke MK
Berita

Aturan Pemilu Serentak Diuji Ke MK

Tuntutan ini didasari dari fakta-fakta empiris karena ada 558 petugas Pemilu yang meninggal dunia, di antaranya 441 orang petugas KPPS, 92 orang petugas Panwaslu, 25 orang petugas Polisi dan ada 3.668 petugas KPPS yang sakit akibat sistem penyelenggaraan pemilu serentak yang tidak manusiawi.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Banyaknya korban petugas penyelenggara pemilu yang meninggal hingga sakit akibat pemilu serentak membuat beberapa warga negara mendaftarkan uji materi kata “serentak” dalam Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

 

Sejumlah warga tersebut adalah Pemantau Pemilu Arjuna, Pemantau Pemilu Pena, Ketua Drikandi Pemantau Pemilu Mar’atul Mukminah, Ketua Luber Pemantau Pemilu M. Faesal Zuhri, Pengurus Srikandi Pemantau Pemilu Nurhadi, Staf Legal Sharon Clarins Herman, dan Mahasiswa Universitas Indonesia Ronaldo Henrich.

 

Kuasa Hukum para pemohon, Viktor Tandiasa mengatakan, penyelenggaraan pemilu serentak 2019 memakan banyak korban penyelenggara pemilu. Sehingga perlu diuji kembali karena penyelenggaraan serentak yang mengakibatkan banyak hak warga negara terlanggar.

 

“Artinya desain penyelenggaraan pemilu dengan lima kotak suara seperti yang diinginkan pembentuk UUD 1945, menjadi salah satu dasar MK memutuskan untuk mengabulkan permohonan dalam Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 perlu diuji dan dipertimbangkan kembali konstitusionalitasnya dari sisi hak-hak konstitusional yang telah nyata-nyata terlanggar,” kata Viktor usai mendaftarakan permohonan, di Gedung MK, Jumat (10/05).

 

Ia menjelaskan meskipun dari sudut pandang original intent penyelenggaraan pemilu serentak dibenarkan, namun sudut pandang original intent atau penafsiran konstitusi lainnya bukanlah hal yang absolut untuk menentukan suatu norma konstitusional atau inkonstitusional.

 

Oleh karenanya esensi pengujian konstitusionalitas suatu UU, lanjut Viktor, tidak dapat dilepaskan dari fenomena masyarakat dan mempertimbangkan aspek filosofis dan sosiologis. “Hal ini sesungguhnya telah ditegaskan oleh Mahkamah melalui Putusan No. 30/PUU-XVI/2018,” ujarnya.

 

Sebab, kata dia, apabila pendirian Mahkamah diletakkan dalam kondisi sosial-politik dan fenomena masyarakat saat ini. Meskipun, mempunyai basis konstitusional namun basis konstitusional menjadi tidak hidup. “Sehingga tidak mampu menyerap kebutuhan masyarakat saat ini yang memisahkan kembali Pilpres dengan pemilu legislative atau konsep lainnya yang sesuai dengan kondisi zamannya,” tuturnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait